“Di sekolah ada les tambahan, Kinan boleh ikut?” tanyaku lagi masih dengan suara yang ragu-ragu.
“Les apa memangnya?” kali ini bapak membalikkan halaman koran.
“Les karate, Pak,” ucapku akhirnya.
“Karate?” Bapak tampak terkejut. Koran yang sedang dibacanya diletakkan begitu saja. Aku mengangguk.
“Kenapa harus ikut les karate? Kamu kan sudah ikut les tari?” Bapak menatapku kali ini.
“Kinan,.. Kinan pengen ikut, Pak. Tapi Kinan tetap ikut les tari kok, Pak.” Aku berkata terbata-bata. Takut bapak tak mengiyakan permintaanku.
“Benar kamu bisa membagi waktu antara les tari, les karate, dan belajar?” Kali ini ucapan bapak terdengar sangat serius.
“Iya, Pak. Kinan janji bisa bagi waktu.” Aku mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahku. Bapak terdiam sejenak, mungkin beliau sedang berpikir.
Dari keempat anaknya, hanya aku dan putra sulungnyalah yang tertarik dengan dunia bela diri. Tapi yang menjadi masalah adalah karena aku adalah anak perempuan satu-satunya. Bapak ingin aku tampil feminin seperti ibu, tapi aku malah menunjukkan minatku pada dunia yang lebih banyak disukai kaum adam.
Dengan penuh pertimbangan, bapak akhirnya mengizinkanku untuk ikut les karate dengan syarat prestasiku tetap baik. Jika nilai-nilaiku menurun maka aku harus rela meninggalkan les karate. Aku senang bukan kepalang.
Sejak saat itu aku rutin mengikuti les karate. Di dunia bela diri tersebutlah aku menemukan minatku yang sebenarnya. Aku jatuh cinta pertama kali dengan dunia bela diri dan susah untuk berhenti. Kecintaanku pada dunia bela diri melebihi minatku di bidang seni tari. Sehingga tak jarang aku bolos les tari demi menekuni karate. Tentunya tanpa sepengetahuan orangtuaku. Seperti hari ini, jadwal les tariku bertepatan dengan ujian kenaikan sabuk.