Mohon tunggu...
Yusep Hendarsyah
Yusep Hendarsyah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer, Blogger, Bapak Dua Anak

Si Papi dari Duo KYH, sangat menyukai Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Nostalgia Ramadan dan Masa Kecilku Berpuasa

19 April 2021   15:23 Diperbarui: 19 April 2021   16:05 1467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nostalgia Ramadan dan Masa Kecilku Berpuasa edited by yusep hendarsyah

Bulan Puasa  Di Rumah Nenek

Kalau lihat kalimat di atas, sepertinya mirip dengan judul puasa tugas mengarang ya?  Namun dalam kondisi sesungguhnya saat masih kecil dahulu bahkan hingga sampai saya lulus Sekolah Menengah Atas bulan puasa dihabiskan di rumah nenek. Ya Nenek dari Ayah ini tinggal di Tasik Malaya, Jawa Barat. Kami keluarga besar dari suku sunda yang mengungsi kisaran Tahun 1982 saat  musibah alam meletusnya Gunung Galunggung.

Musibah itu mengakibatkan  orang tua saya , adik yang masih bayi dan keluarga lainnya mengungsi ke Tangerang . Pada saat itu Tangerang masih  bagian wilayah Administrasi dari Provinsi Jawa Barat dengan ibu kotanya Bandung.

Karena kehidupan dalam suasana duka di tempat pengungsian kami tinggal di sebuah kontrakan yang berdinding anyaman bambu dan masih beralaskan tanah yang belum dipelur semen  (tembok). Kami tinggal dengan kondisi amat sederhana di sebuah kampung bernama Kampung Kandang Kambing. Ya, kini kampung itu masih ada dan berada di  wilayah Kota Tangerang Provinsi Banten. 

Beruntungnya ( kena musibah kok beruntung ya? ) sebelum musibah terjadi ayah saya memiliki usaha di daerah Tangerang tepatnya di Lio Baru Pintu Aer. Usahanya berupa pabrik roti dan  usaha tempat es krim (dikenal dengan sempe)  dan sejenisnya namun saat itu baru merintis dan banyak menghabiskan biaya untuk membuat pabrik tersebut. 

Alhasil keluarga kami kekurangan bahkan hingga Ramadan tiba.  Akhirnya aku  diekspor atau dikirim kembali ke Tasikmalaya untuk berpuasa di rumah nenek dan menjelang lebaran bapak dan ibuku akan menyusul.

Saya lupa menginformasikan, meski saya memiliki nenek kandung dari bapak, ternyata  saya  dikirim ke nenek yang bukan nenek kandung. Kebetulan ibu kandung saya  sudah yatim piatu , nah dia diangkat dan diasuh oleh adik dari ibunya namanya Nini Emes , Beliau mantan pendekar yang terkenal di sana namun sudah hijrah dan lebih memilih jalan islami. 

Kenapa tidak di rumah nenek kandung yang rumahnya super lega dan panjang seperti kereta? Rupanya  ada banyak hal yang memang dipikirkan oleh bapak agar saya  bisa betah di sana. 

"Kalau di Mak Aoh (nenek) kalian akan merasa tidak nyaman, selain tegas akan aturan semisal harus tidur cepat, magrib harus di rumah, mengaji , tidak menyalakan televisi, radio , sholat isya lalu pergi tidur dan esoknya bangun pagi hari. Bapak saya keras  orangnya namun di sisi lain lembut kepada  saya  sebagai anaknya. Karena didikan keras dari orang tuanyalah bapak saya  menginkan anaknya menjalani puasa Ramadan  bukan di rumah ibunya. Sedih gak sih?

Tapi ternyata memang kondisinya demikian. Saya  lebih bahagia tinggal di rumah Nini Emes karena banyak faktor.

  • Tradisi berkumpulnya  yang tak pernah sepi ; 
  • Nenek Saya memelihara 4 ekor anjing penjaga  .  Meski  Nini Emes memiliki 4 anjing yang super gede, hampir tidak pernah ada suara anjing menggonggong  yang terdengar. Saya sangat  menyukai ketika  disuruh berpose atau bergaya bersama "Ribut" salah satu anjing piaraan nenek. Oh iya,  lima langkah dari pintu rumah nenek saya ini adalah Masjid milik keluarga yang juga dipakai untuk Sholat Jumatan. Aki Momo (kakek) salah satu Ketua DKM nya. 
  • Karena keluarga besar dari ibu ini  berlatar gabungan Persis dan Nahdatul Ulama, memudahkan  kami merasakan proses mengaji , berpuasa yang egaliter. Suara adzan, tadarusan, membangunkan sahur persis seperti kondisi saat ini. Ramai dan seru, yang tidak ada adalah suara petasan karena terlarang dibunyikan. Kalau mau  maen petasan harus ke lapangan jauh dari masjid.
  • Hari -- hari selama puasa di kampung orang tua  benar benar bahagia  berbeda dengan kondisi prihatin  orang tua akibat bencana  (karena saya  masih kecil , tidak mengerti apa - apa ) yang saya ingat adalah pernah makan  nasi dengan lauk garam saja tanpa yang lain. Kondisi itu ketika kami baru  beberapa hari mengungsi. Puasa di Bulan Ramadan sangat menyenangkan dan itulah pesan dari Bapak kepada nenek ketika mereka menitipkan kami.

Itulah kisah Ramadanku yang mungkin berbeda dengan anak -- anak kebanyakan. Di saat yang lain berpuasa dan berbuka dengan orang tua, saya justru berpisah dengan orang tua saya dalam merayakan puasa selama satu bulan .

 Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun