Mohon tunggu...
Yusep Ahmadi F
Yusep Ahmadi F Mohon Tunggu... profesional -

curious,

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bahasa dan Peristiwa

23 Desember 2014   18:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:38 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa menjadi hal yang niscaya dalam kehidupan, peristiwa pun demikian dalam keadaban. Tak ada ruang yang luput dari peristiwa, begitupun tak ada detik  tanpa bahasa. karena memang peristiwa adalah kehidupan itu sendiri. Dalam komunikasi, peristiwa dan bahasa saling mengenal, dekat dan kemudian menjadi sesuatu yang integral. Lalu bagaimana peristiwa direpresentasikan  bahasa dan bahasa merepresentasikan peristiwa. Atau bagaimana peristiwa merepresentasikan/mensimbolkan dari sesuatu yang verbal.  Manusia sebagai animal symbolicum sebagaimana yang dikemukakan Ernst Cassirer,bertindak, berkehendak, memaknai segala sesuatu dengan tanda. Dan bahasa sebagai sistem tanda yang primer dalam kehidupan sehari-hari  menduduki wilayah yang simultan dengan peristiwa yang dialami manusia itu sendiri.Maka, dalam kehiduapan sehari-hari seperti saat ini kita sulit memisahkan antara bahasa dan peristiwa. Ada tumpang tindih yang saya bicarakan di sini, pun saya bingung di mana batasan antara kedua hal itu. jika kita menac kepada tesis Austin yang berbunyi speech act yang kurang lebih dapat diartikan bahwa ketika kita berbahasa maka sesungguhnya kita sedang bertindak, itu artinya kita sedang dalam peristiwa.

Begitu banyak peristiwa yang kita peregoki juga begitu banyak bahasa yang terserak di depan mata. Namun, adakah segala itu mempunyai penuh makna. Bila seorang ahli kimia menyusun sebuah peristiwa eksperimentalnya dengan begitu teliti dan saksama, maka semua berujung dengan sebuah bahasa (konklusi): bisa jadi susunan hipotesis, rangkaian antitesis namun yang pasti semua diikat dan dibungkus dalam satu hal, yakni bahasa. Dalam kesehariannya bahasa tak banyak bicara, maksud saya bahasa itu sendiri diam karena manusialah yang memberdayakan bahasa. Perilaku bahasa (bentuk dan makna)  tunduk pada peristiwa (manusia) oleh karenya bahasa takkan istimewa apabila tanpa peristiwa yang istimewa.

Dari sekian peristiwa yang tergeletak dan bergerak, seorang penyair peka dan apik untuk  memungut sebuah peristiwa, yang mungkin sepele bagi kita yang tak estetis.. Teringat penggalan puisi dari Sapardi Djoko Damono.

Angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telepon itu,

"aku rindu, aku ingin mempermainkanmu!"

kabel telepon memperingatkan angin yang sedang memungut daun

itu dengan jari-jarinya gemas, "jangan berbisik, mengganggu hujan!"

hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam,

hardiknya, "lepaskan daun itu!"


Bagaimana peristiwa sesederhana itu menjadi sesuatu yang lebih hidup, hadir, dekat, dan penuh makna. berdaya menjadi sebuah metafora yang benar-benar sering kita alami dalam keseharian: kejadian yang melibatkan angin, hujan, kabel telefon, dan daun diubah menjadi sesuatu yang "hidup"  dan semakin "dekat" lewat bahasa. Kata berduyun-duyun membangun sebuah abstraksi, dan makna tersusun menjadi sesuatu yang benar-benar hadir. Boleh jadi tak semua orang menganggap hal itu istimewa, namun setidaknya syair itu menimbulkan "sesuatu" yang tak biasa.

Kita mundur ke belakang ke beberapa abad yang lalu. Adalah peristiwa yang menjadi bahasa maka  tengoklah bagaimana "bahasa" menjadi "peristiwa". Sekitar abad ke-16 di daerah India tepatnya di daerah Agra seorang raja menikahi perempuan yang begitu dicintainya. Shah Jehan sang raja menikahi Mumtaj Mahal perempuan yang begitu istimewa di matanya. Konon Mumtaj Mahal adala istri ketiganya dan menjelang sakaratul maut Mumtaj Mahal menagih janji yang pernah diutarakannya. Singkat cerita sang istri meninggal kemudian sang raja membangun sebuah  Masjid (makam) sebagai wujud dari apa yang pernah diucapkannya. Konon pembangunan Taj Mahal itu menghabiskan waktu sekitar 22 tahun dan melibatkan ribuan manusia dari berbagai penjuru dunia. Sebagaimana John Shors merekam peritiwa itu menjadi kisah fiktif yang liris dan mendayu-dayu. Kita dapat bayangkan bagaimana sebuah bahasa, berbahasa, indakan verbal yang (mungkin) hanya terekam oleh waktu beberapa menit saja berubah menjadi peristiwa yang berabad-abad dibicarakan dan dilihat, Taj Mahal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun