Bahasan soal Agama dan politik akan selalu menghadirkan perdebatan panjang. Disatu pihak, agama dan politik dipandang sebagai sesuatu yang tak bisa dipisah. Dipihak lain, agama dianggap sebagai sesuatu yang fitra sehingga tak bisa dicampur dengan politik yang banyak dicitrakan kotor. Terlebih jika melihat praktek atau cara berpolitik para politisi saat ini.
Saya sendiri lebih condong dipandangan pertama. Agama dan politik memang sudah seharusnya bersama.
Meskipun, dalam praktek berpolitik para politisi saat ini lewat medium-medium agama saya anggap ada ketidaksesuaiaan dari pandangan saya.
Penyatuan agama dan politik itu penting. Bahkan harus. Tapi jangan dibolak balik.
Agama-lah yang mesti membawa pengaruh dalam politik, bukan politik yang membawa pengaruh dalam beragama. Jalan agama digariskan Tuhan, sedangkan jalan politik digariskan oleh kepentingan.
Kasus Al-Maidah Ahok dan Kitab Fiksi Rocky Gerung adalah dua hal yang saya anggap hampir serupa. Ini sebagai contoh. Betapa pendirian secara politik berpengaruh besar terhadap penilaiaan akan sesuatu hal yang menyangkut agama.
Orang yang merasai dirinya paling paham tafsir agama dulunya menghujat Ahok. Tiba-tiba menjadi melempem dan menjadi bijak saat Rocky menyinggung soal Kitab suci fiksi. Ini bukti bahwa pendirian politik jauh berpengaruh besar terhadap penilaiaan sebuah hal subtansi dalam ber-agama.
Agama dan politik mesti bersama. Namun agama yang harusnya dibawah dalam keranjang politik, bukan politik yang dimasukkan dalam medium agama.
Agama yang harusnya berdiri diatas kepentingan politik. Bukan politik berdiri mengangkang diatas kesucian sebuah agama.
Mimbar politiklah yang mesti diramaikan dengan seruan agama. Tidak dengan seruan politik dikumandangkan dalam podium agama. Politik adalah urusan kepentingan pribadi dan kelompok, sedangkan agama adalah milik semua orang yang beragama, bukan kelompok tertentu.
Terakhir saya hanya ingin mengucap selamat. Selamat beragama dalam politik. Ingat, bukan selamat untuk berpolitik dalam agama. (*)