TAYANGAN media cetak maupun elektronik setiap harinya menyuguhkan ulasan tentang perilaku korupsi. Umpatan dan makian yang terdengar sudah menjadi hal biasa.
Bagaimana orang dekat atau bahkan diri kita sering secara spontan ikut mencaci para koruptor ini. Cacian yang secara sadar atau tidak telah menempatkan derajat diri sendiri diatas dari para koruptor ini.
Dalam beberapa diskusi informal, awalnya saya menjadi bagian dari para pengumpat ini. Bagaimana dengan lantang mencaci tanpa rem, seolah sudah menjadi manusia tanpa cacat dan prilaku menyimpang sedikit pun.
Benar adanya kalau waktu adalah sebuah jawaban. Kendatipun jawaban dari sang waktu ini bukan soal benar-salah. Perlahan tapi pasti cara berfikir saya mulai berubah.
Saya melihat koruptor tidak lagi dengan rasa jijik dan benci. Saya melihatnya dari sudut berbeda, menjadikannya sebagai cermin untuk melihat diri saya sendiri.
Satu hal pasti, koruptor memberikan pelajaran penting. Mereka memberikan kita kesempatan untuk duduk diam, merefleksi diri sendiri sebelum mencacinya.
Apakah memang diri kita lebih baik dari mereka?. Apakah memang kita tidak berlaku sama, atau malah akan lebih beringas dari koruptor ini jika kita berada diposisinya?.
Seberapa sucikah kita dari perilaku korup dalam pekerjaan, pergaulaan dan keseharian kita. Perilaku korup bukan hanya persoalan uang. Bukan nilai tapi 'prilaku'.
Korupsi tidak boleh diartikan secara sempit dengan mematok hanya uang negara. Menikmati hak orang dekat kita tanpa persetujuannya adalah perilaku korup yang sama.
Saya tidak habis pikir. Bagaimana sekelompok orang dalam lembaga tertentu berteriak mengecam perilaku korupsi. Setelah sebelumnya manusia sok bersih ini keliling pada beberapa lembaga pemerintah ataupun swasta menawarkan proposal dengan segala ancaman didalamnya.
Bagaimana juga manusia terdidik seperti Mahasiswa mengumpat perilaku korup birokrasi kampusnya. Congkak, tanpa mereka mau bercermin melihat diri dan lembaganya yang menggunakan dana dari birokrasi dengan LPJ yang penuh rekayasa.