Mohon tunggu...
Yusanta Avi
Yusanta Avi Mohon Tunggu... -

Saya suka menulis....\r\nSaya suka memotret...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kemana Kutukar Nafas dan Jantung Mereka?

19 Januari 2012   09:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:41 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1326964585155459293

Pagi ini tanpa sengaja aku melihat sebuah sobekan koran. Mungkin koran yang terbit kemarin yang tak sengaja tersobek oleh pembelinya. Koran itu tampak masih baru. Belum ada lekukan kisut atau sisa minyak dari penggorengan disana. Aku berusaha membaca apa yang tertulis disana. Aku mencoba mengenali huruf demi huruf. Mencoba merangkainya menjadi kata yang mempunyai makna. Dengan susah payah aku menyambungkan kata-kata yang tergeletak diatas kertas itu menjadi sesuatu yang dapat dipahami oleh otakku ini. Otak ini sudah lama tak lagi mengerjakan hal-hal berat seperti otak orang lain seusiaku.

Sudah kira-kira empat tahun aku tidak pernah lagi memakai baju yang sering dipakai orang-orang yang aku temui setiap pagi. Ya, setiap pagi mereka memakai baju putih merah, putih biru , putih abu-abu atau baju bagus lainnya yang mereka pakai sembari menenteng tas di bahu ataupun di punggung mereka. Sebenarnya aku pernah merasakan seperti mereka, setiap pagi aku memakai baju putih merah, dengan dasi yang tergantung di krah bajuku. Berlari-lari menyusuri pinggir jalan diantara banyaknya orang dan kendaraan lain berjejalan di tengahnya. Berlari menghindari omelan bapakku yang masih saja sama setiap pagi. Setiap pagi, sambil peluhnya mengalir karena kelelahan mengais dan memilah tumpukan rongsokan di depannya, dia selalu berteriak, “Heeeiii, ayo cepat bantu bapak! Tidak perlu kau pakai baju putih itu. Hari ini tidak usahlah kau sekolah! Hari ini kau akan kelaparan kalau tidak membantuku.”

Seperti biasa, aku tak pernah menghirukan suara itu. Aku tetap bersemangat memakai baju putihku yang kumal dan berlari supaya bapakku tidak mengejarku. Aku masih ingat, waktu itu terpampang papan dengan tulisan kelas 3A di depan ruang belajar yang sering kupakai dengan teman-teman. Ruang belajar? Ya, aku tak pernah menyebutnya sekolah karena sekolah yang sering lihat di pinggir jalan itu biasanya bagus, dindingnya kokoh dan atapnya dari genting. Tidak seperti sekolahku. Orang-orangpun sering mengatakan bahwa aku bersekolah di kandang sapi. Mungkin mereka benar. Tapi aku tak pernah peduli dengan lelucon mereka yang sama sekali tidak lucu itu. Hingga suatu hari aku harus berhenti dan meninggalkan tempat itu dengan paksa karena kabarnya, tanah tempat belajarku itu telah dibeli oleh orang yang sangat kaya. Kata ibuku, orang itu sangat amat kaya. Aku tidak tahu mengapa ia membeli ‘sekolahku’ itu. Aku sempat berkhayal, mungkin dia adalah orang kaya yang baik hati. Ia akan merubah tempat itu menjadi tempat belajarku yang lebih megah sehingga orang tidak akan menyebutnya kandang lagi. Mungkin tempat itu akan menjadi seperti sekolah lain yang sering aku lewati ketika aku berangkat di pagi hari. Namun ternyata aku berkhayal terlalu tinggi. Pagi hari ketika baju putih dan tas kumalku sudah bertengger di tubuhku, ternyata aku kebingungan mencari dimana tempat itu. Mengapa semuanya tampak rata dengan tanah? Saat aku dan teman-temanku tiba disana, hanya terlihat mesin-mesin pengeruk dan para pekerja yang sibuk mengangkut reruntuhan. Tampak juga orang kaya yang sering diceritakan oleh ibuku. Aku tidak berkedip menatapnya. Mobilnya benar-benar bagus. Mungkin harga satu baju yang ia pakai melebihi harga seisi lemari yang ada di rumah kardusku. Baberapa saat kemudian ada seseorang yang mengatakan bahwa ia akan membangun sebuah hotel mewah di kawasan itu. Hotel mewah? Apakah aku sudah mulai tuli? Atau memang telingaku sudah mulai tidak normal karena akhir-akhir ini jalanan semakin bising? Lalu kemanakah dia menyimpan tempat belajarku itu? Kemana ia memindahkannya? Ah, mungkin yang kudengar itu salah. Dengan mengendap-endap aku memberanikan diri mendekati laki-laki kaya itu. Aku ingin bertanya padanya. Ketika aku berusaha mendekatinya, pantulan cahaya dari mobil lelaki kaya itu benar-benar menyilaukan mataku. Seketika aku membayangkan, mungkin setiap hari mobil itu dilap berpuluh-puluh kali atau bahkan beratus-ratus kali. Sekarang, lelaki itu hanya berjarak beberapa langkah dariku. Aku sangat berdebar-debar, saat laki-laki itu melirik  ke arahku. Matanya tajam, merah menyala seperti ingin membakarku hidup-hidup. Ya, bahkan menurutku ia lebih menakutkan dari bang Kodri, preman terminal yang sering meminta uang dengan paksa pada orang-orang yang melintas di depannya.  Seketika itu pula aku mengurungkan niatku untuk mendekatinya. Aku takut. Aku berlari pulang.

Hari-hari selanjutnya, tidak ada kabar lagi tentang tempat belajarku yang sudah reyot itu. Kini tempat itu sudah menjadi seperti istana yang megah. Melintas di depan pintu masuknyapun aku tidak berani. Kata bapakku, hanya orang berduit dan orang-orang yang membawa mobil bagus saja yang boleh masuk ke dalamnya. Sejak orang kaya itu membeli tanah sekolahku, tidak pernah lagi seragam putih merahku kupakai lagi hingga saat ini. Tidak pernah lagi aku dengar bapak berteriak tiap pagi untuk melarangku pergi ke tempat belajarku karena setiap hari aku sudah bergelut dengan barang-barang rongsokan yang menggunung sebelum bapakku bangun.

Aku terhenyak, ketika Ragil menepuk bahuku dan mengambil sobekan koran di tanganku yang dari tadi berusaha kubaca. “Apa ini, Git?”, katanya sambil mengamati sobekan itu. Raut wajahnya berubah. Ragil tersenyum sambil menunjukkan koran itu padaku. “Eh kamu sudah tahu belum, Git? Ada orang kaya yang mau membagi-bagikan uangnya. Besok pagi. Semua boleh datang kerumahnya. Ini foto orang itu.” Ternyata gambar laki-laki itu ada di koran. Ya, laki-laki pemilik bangunan megah itu.

“Aku tadi juga dengar, katanya semua tetangga kita juga akan ikut mengantri jatah uang itu”. Ragil kembali melanjutkan kata-katanya, “Kamu besok ikut mengantri? Lumayan lho Git, untuk membeli makanan enak.”

Aku hanya diam. Aku tidak tahu mengapa aku sama sekali tidak tertarik untuk ikut mengantri besok. Aku takut, jangan-jangan lelaki kaya itu masih mengenali wajahku dan aku tidak boleh mengantri uangnya. “Sepertinya ibuku saja yang mengantri. Nanti aku beri tahu dia.”, jawabku tak bersemangat.

Sampai di rumah, aku menceritakan isi berita yang ada di koran itu pada ibuku. Rupanya ibuku sangat tertarik. Memang, ini bukan pertama kalinya ada orang kaya yang membagi-bagikan uangnya untuk kami. Dan tentu saja semua berlomba untuk datang lebih pagi supaya berhasil mendapatkan uang itu. Besok ibuku akan ikut mengantri dan mengajak si Ibun, adikku yang masih berumur dua tahun.

Pagi-pagi buta ibu dan adikku sudah berangkat ke rumah orang kaya itu. Memang rumahnya agak jauh dari tempat tinggal kami. Mungkin aku akan sangat kelelahan kalau aku ikut dengannya, karena harus berjalan sangat jauh. Walaupun aku sering membantu bapak mencari barang rongsokan yang jaraknya hingga berpuluh-puluh kilometer, namun sepertinya jarak itu teramat jauh bagiku.

Siang mulai menantang setiap makhluk yang melintas di jalan-jalan. Hingga terik matahari menghadang setiap kepala yang ada dibawahnya, ibuku dan adikku belum pulang juga rupanya. Tak bisa kubayangkan betapa bahagianya raut wajah kedua orang yang kucintai itu saat mereka pulang nanti dengan membawa uang untukku keluarga kami. Bapakkupun masih saja sibuk memilah tumpukan kardus dan benda-benda plastik hasil jerih payahnya hari ini. Siangpun mulai lelah menampakkan kehebatannya. Yah, sekarang sudah jam empat sore. Aku terus menanti ibuku. Akhirnya aku tidak sabar juga hanya duduk seperti manusia tak bernyawa di tempat ini. Akhirnya rasa penasaranku mengalahkan semua isi kepalaku sebelumnya. Aku ingin melihat, apa yang sebenarnya orang kaya itu lakukan pada orang-orang yang mengantri di depan rumahnya. Mungkin kali ini dia memang memberi banyak uang untuk mereka, sehingga jumlah uang itu sebanding dengan perjuangan mereka untuk mendapatkannya. Aku berjalan dan terus berjalan, namun sepertinya aku belum juga berpapasan dengan ibuku di jalan yang telah aku lewati tadi. Sudah hampir magrib rupanya ketika kakiku tinggal beberapa langkah lagi dengan rumah laki-laki kaya raya itu. Aku melihat kerumunan orang-orang berdesakan di sana. Ya, mungkin ribuan orang berjajar, berdesakan dan bahkan saling mendorong. Aku tidak melihat pemilik rumah megah itu. Aku mencari ibu dan adikku. Langkahku semakin mendekati kerumunan orang mungkin senasib dengan keluargaku. Rela mengantri dari pagi, tanpa memasukkan sesuap apapun ke dalam mulutnya, demi mendapatkan uang yang merekapun tidak tahu berapa jumlahnya.

Mereka sudah di depan mataku. Jantungku berdetak sangat kencang ketika apa yang aku bayangkan di rumah tadi tidak seperti apa yang ada di depan tubuhku sekarang ini. Ribuan orang bersesak-sesakan di dalam antrian itu dengan pintu masuk yang mungkin hanya sekitar empat jengkah saja lebarnya. Teriakan itu semakin lama semakin meninggi dan berubah menjadi jeritan dan rintihan yang mengiris telingaku. Aku melihat seorang anak kecil terdorong oleh himpitan orang-orang yang berdiri di belakangnya. Semakin lama dorongan itu semakin kuat, hingga sebagian orang disana tersungkur tumpang tindih. Kulihat beberapa nenek dan ibu-ibu  seakan tertanam di dalam desakan ribuan orang itu. Saling menginjak. Setiap orang berusaha mengangkat tangan dan tubuhnya, berusaha menghindari pijakan kaki siapa saja yang ada di sana. Namun mereka sepertinya tidak berhasil. Beberapa orang tergopoh-gopoh membawa mereka keluar dari kerumunan itu. Menyeret mereka satu persatu. Mereka bukan lagi seperti  manusia. Kenapa mereka lebih seperti patung yang hanya diam saat orang-orang itu menyeret lengan, kaki atau tubuhnya untuk mengeluarkan mereka dari tumpukan manusia itu? Aku tak dapat berkedip ketika seseorang menyeret seorang wanita yang sudah tak bergerak ketika tubuhnya berangsur keluar dari himpitan yang mengelilinginya. Seorang anak masih menggelayut dalam gendongannya. Nafasku tiba-tiba berhenti ketika orang menggotong mereka melewati hadapanku. Aku memejamkan mataku dan membukanya kembali berkali-kali dan berharap ini hanya mimpi buruk seperti yang sering aku alami ketika lampu di rumahku padam. Namun setelah mata ini terpejam, mengapa kedua orang itu semakin sama dengan ibu dan adikku? Ya, mereka ibu dan adikku yang tadi pagi masih membawa senyum keriangan sebelum berangkat ke tempat ini. Kemana senyum mereka sekarang? Siapa yang mengambilnya? Kini mereka hanya diam ketika aku mencubit keduanya. Dingin. Peluh yang mengalir dari tubuh merekapun terasa seperti air dingin, dinginnya sama seperti air yang mulai membeku. Aku berteriak memanggil-manggil nama mereka namun mereka seakan tuli dan sedang tertidur pulas. Mungkin ibuku telah lelah. Teramat lelah hingga dia tidak daapt membuka matanya lagi. Tiba-tiba air mata mulai bersemayam lalu mengalir dari kedua ujung mataku. Masih terlihat dua lembar uang sepuluh ribu tergenggam di tangan ibuku. Uang yang akan membawa kebanggaan untuk  ibuku ketika ia pulang ke rumah. Uang yang mungkin saja akan merubah  nasib anak-anaknya hari ini. Uang membuatnya tersenyum saat anak-anaknya dapat mengisi perut dan tidak kelaparan. Dua lembar itu mungkin menyimpan begitu banyak harapan untuk ibuku hingga dia tidak mau melepaskan uang itu dari genggaman tangannya. Ia lebih rela melepaskan desiran nafas yang ia bawa dan menukarnya dengan uang itu. Desiran nafas yang selalu mengalun dalam paru-parunya sejak ia masih kanak-kanak. Adikkupun rupanya tak membiarkan ibu berjuang seorang diri di tempat itu. Ia juga menukar detak jantungnya untuk dua lembar kemerahan  itu.

Aku mulai menyesali diriku saat aku menolak dengan keras ketika ibu menyuruhku ikut bersamanya. Aku ingin menukar kembali dua lembar kertas itu dengan nafas ibuku dan jantung adikku, tapi aku tak tahu dimana aku harus menukarnya. Air mataku semakin deras mengalir bersamaan dengan mengucurnya darah orang-orang yang terlentang di samping kiri kananku, sementara orang-orang di sekitarku masih sibuk membongkar tumpukan manusia disana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun