Wajah dan logat yang tidak mendukung seringkali membuat saya tidak dipercayai sebagai orang Batak, padahal bapak punya marga Harahap dan ibu adalah Dalimunthe. Apalagi pernah dirunut sampai 6 generasi ke atas tidak ditemukan ada suku selain Batak yang menghiasi pohon keturunan kami.
Selain itu saya juga tidak bisa bermain gitar dan tidak suka bermain catur, jadilah semakin tidak dipercaya kalau saya adalah orang Batak.
Kerjaan yang mengharuskan seringnya bepergian hampir ke seluruh penjuru Indonesia membuat saya sering bertemu dengan berbagai suku bangsa, dan biasanya pertanyaan standar dalam mukaddimah pembicaraan adalah: “Aslinya darimana mas?”
Biasanya kalau saya jawab bahwa saya adalah orang Batak, maka respon bagi orang yang mengenal ciri khas Batak dari wajah dan logat tidak serta-merta percaya. Biasanya keraguan itu ditunjukkan dengan menganggap bahwa saya adalah orang Jawa atau Minang. Karena kebanyakan orang sangat mengenal tokoh seperti Ruhut Sitompul, Chairuman Harahap atau Hotman Paris Hutapea yang sangat berbeda jauh dengan saya, baik dari rupa, logat apalagi kekayaan.
Untuk yang tidak mengenal ciri khas Batak malah menimbulkan kelucuan tersendiri, seperti begitu saya bilang bahwa saya adalah orang Batak maka pertanyaan lanjutannya adalah: “Batak Protestan atau Katolik?” Nah lho, sejak kapan Batak itu menjadi sebuah Agama.
Meskipun ada anggapan kebanyakan orang Batak berkecimpung di dunia hukum dan transportasi, tetapi orang Batak hampir ada di setiap bidang pekerjaan atau profesi, termasuk sebagai artis. Yang penting apapun profesinya, karakter nya tetap sama.
Ada sebuah lelucon yang pernah diungkapkan oleh seorang teman yang mengagumi kecantikan perempuan bersuku Batak dan bahwa orang Batak itu punya potensi luar biasa untuk menjadi cantik, biasanya kalau melakukan kawin silang dengan selain Batak. Misalnya Batak dengan Australia melahirkan Nadya Hutagalung. Bila disilang dengan Denmark maka menjelmalah sebagai Olivia Lubis Jensen. Bagaimana kalau dengan Jerman, akan terciptalah seperti Marissa Nasution. Bahkan dengan lokal sendiri seperti Batak dan Melayu akan lahirlah Tya Ariestya. Masalahnya kalau Batak dengan Batak maka muncullah Tika Panggabean :-)
So, walau bagaimanapun keadaannya, saya ini tetaplah orang Batak.
Horas dari Palembang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H