Ditulis Oleh : Afina Kamila, Dian Cahya Anbiya, Revly Haiqal Bais dan Yurni Latifah.
Mahasiwa-Mahasiwi Konsentrasi Ekonomi, Program Studi Pendidikan IPS, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Fenomena kenaikan PPN ini telah menjadi sorotan penting dan berdampak secara langsung pada kenaikan barang dan jasa yang dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat umum (Setiawan, 2023). Implementasi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% per 1 Januari 2025 telah memicu kekhawatiran yang mendalam di berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, namun berpotensi memberikan tekanan tambahan terhadap daya beli masyarakat yang masih dalam proses pemulihan pasca pandemi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pertama kali mengatur mengenai tarif PPN sebesar 10%. Besaran tarif ini kemudian dapat mengalami perubahan sesuai dengan peraturan pemerintah, dengan batas minimum 5% dan maksimum 10%. Ketentuan ini bertahan cukup lama meskipun Undang-Undang tersebut mengalami revisi pada tahun 2009. Ketika menjabat presiden, Joko Widodo melakukan perubahan signifikan terhadap tarif PPN melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Menurut UU HPP, tarif PPN dinaikkan secara bertahap. Mulai April 2022, tarif PPN ditetapkan sebesar 11%. Selanjutnya, pada tahun 2025, tarif PPN akan kembali naik menjadi 12%. Ketika PPN naik menjadi 11% pada tahun 2022, sambutan negatif dari masyarakat juga muncul. Para pengamat ekonomi menyebut kenaikan PPN menjadi 11% itu tidak tepat di tengah tekanan hidup masyarakat sudah berat dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Menghadapi kenaikan PPN lagi tahun depan, Galih mengaku dilema. "Belakangan dagangan mulai sepi, tidak bisa membayangkan kalau awal tahun PPN jadi naik, semua juga akan ikut naik [harganya]," ujarnya saat dihubungi BBC Indonesia melalui telepon.
Meski muncul kritik dari analis dan pengusaha, pemerintah tak goyah menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025, seperti yang ditegaskan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Kamis (14/11) lalu. Dilansir kantor berita Antara, Sri Mulyani menyatakan rencana kenaikan PPN bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kebijakan PPN 12 persen termaktub dalam Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2021 yang disusun oleh Kabinet Indonesia Maju di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam beleid itu, disebutkan bahwa PPN dinaikkan secara bertahap, yakni 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025. Menkeu menyebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dijaga kesehatannya, sekaligus mampu merespons berbagai krisis. "Seperti ketika terjadinya krisis keuangan global dan pandemi, itu kami gunakan APBN," ujarnya.
Pada konteks ini, kami melakukan penelitian dengan metode pendekatan kualitatif dengan teknik wawancara bersama dengan masyarakat umum mengenai dampak dari kenaikan PPN 12% ini. Berdasarkan wawancara dengan salah satu narasumber sebagai objek sudut pandangnya terhadap kenaikan PPN 12%. Narasumber mengatakan bahwa adanya dampak dari kenaikan PPN 12% ini sangat dirasakan terutama saat pembelian barang. Narasumber juga menyebutkan bahwa adanya kenaikan pajak tidak hanya dari toko swalayan, tetapi dari cafe-cafe yang harganya naik drastis akibat kenaikan pajak. Dalam hal ini, menurut sudut pandang narasumber, dampak yang dirasakan cukup signifikan, adanya kenaikan pajak ini berpotensi mengurangi pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposible income) masyarakat.
Dalam beberapa waktu terakhir, daya beli masyarakat semakin menurun, dan hal ini terlihat jelas di berbagai tempat, termasuk kafe-kafe yang biasanya ramai. Ketika seseorang mengunjungi kafe dan mendapati suasana yang sepi, itu bukan hanya sekadar kebetulan. Banyak faktor yang memengaruhi, salah satunya adalah meningkatnya pajak yang harus dibayar oleh pemilik usaha. Pajak yang tinggi sering kali membuat pemilik kafe terpaksa menaikkan harga menu mereka, yang pada gilirannya membuat konsumen berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk berbelanja. Akibatnya, banyak orang memilih untuk mengurangi frekuensi kunjungan ke kafe atau bahkan beralih ke pilihan yang lebih terjangkau.
Situasi ini menciptakan siklus yang sulit bagi para pelaku usaha dan konsumen. Di satu sisi, pemilik kafe berjuang untuk tetap bertahan di tengah biaya operasional yang terus meningkat, sementara di sisi lain, konsumen merasa tertekan oleh pengeluaran yang semakin besar. Dengan daya beli yang menurun, kafe-kafe yang dulunya ramai kini menjadi sepi, dan hal ini dapat berdampak pada keberlangsungan usaha mereka. Jika tidak ada langkah-langkah strategis untuk menyeimbangkan pajak dan harga, kita mungkin akan melihat lebih banyak kafe tutup dan kehilangan ruang-ruang sosial yang penting bagi masyarakat.
Dari kebijakan baru ini narasumber berharap pemerintah juga memberikan kebijakan pendukung, seperti subsidi bagi produk tertentu atau insentif untuk meringankan beban masyarakat kecil dan pelajar. Dengan begitu, kenaikan PPN ini tidak terasa terlalu memberatkan.