Mohon tunggu...
Akhmad Faishal
Akhmad Faishal Mohon Tunggu... Administrasi - Suka nonton Film (Streaming)

Seorang pembaca buku sastra (dan suasana sekitar) yang masih amatiran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anomali Sekularisasi dan Desakralisasi di Indonesia

17 Juli 2017   14:28 Diperbarui: 17 Juli 2017   14:35 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengapa ilmu pengetahuan, gaya hidup modern dan agama dapat berjalan beriringan baik di Jepang, di Turki dan bahkan di Amerika Serikat? Mengapa Indonesia seperti ada beberapa orang yang enggan melepas budaya arabisasi, seperti ribut soal jenggot, ribut soal pengganti ideologi kebangsaan, ribut soal perang badar dalam situasi politik kekinian (padahal perang badar adalah perang untuk memerangi agama)? Sudah seharusnya agama diletakkan pada semestinya, yakni dalam ruang lingkup manusia dengan tuhannya, bukan dalam manusia dengan manusianya. Jika, memang agama harus hadir dalam setiap dan segala aktivitas manusia, itu haruslah dalam bentuk moralitas semata. Seperti kejujuran, amanah, dan semacamnya.

Karena, jika agama harus hadir dalam bentuk yang lain, yakni ideologi hal itu tidak akanlah bisa. Menurut Abdurrahman wahid ukuran-ukuran ideologis agama tetap tidak memperoleh tempat dalam kehidupan bernegara, karena sifatnya sesisi dan hanya khusus untuk kepentingan para pemeluk agama tersebut (Abdurrahman Wahid, 2006: 55). Jika menurut seorang ustadz, membela pancasila dan tanah air tidak ada dalilnya, maka segala sesuatunya harus ada dalilnya dan itu akan menguras energi. Dalil hanya berlaku di situasi dan di tempat tertentu, namun tidak berlaku di ranah manusia dengan manusia dalam kaitan dengan ilmu pengetahuan, khususnya politik- hukum dan gaya hidup maupun sejenisnya.

Masyarakat dalam kehidupan sosial memang harus menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dengan segala bentuknya. Sekarang, mari kita lihat generasi muda juga banyak yang memperoleh medali di bidang tersebut, diisisi lain, beberapa orang juga tidak ingin hanya Ilmu Pengetahuan saja yang diekspos oleh sebab itu media juga memberi keseimbangan dalam bentuk acara maupun sinetron bertema religi. Agama tetap menjadi komoditas utama, lebih-lebih pada bulan ramadhan kemarin, namun sekarang, akibat perubahan sosial dan lain sebagainya ilmu pengetahuan yang didalam ada gaya hidup kekinian kembali menutupi peran agama. Gaya hidup yang glamor, Berbusana dengan pakaian terbuka, Seks bebas dan Korupsi jelas tidak mencerminkan bahwa Indonesia sekarang merupakan negara ketimuran.

Agama yang dulu dijadikan sandaran kehidupan dalam bentuk kesederhanaan, sekarang berubah semuanya. Inilah bentuk masyarakat Indonesia di tahun 2017, Samuel Koenig mengatakan bahwa perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia yang terjadi karena sebab-sebab intern maupun ekstern (Soekanto, Soerjono. 2014: 261). Sosialisasi yang begitu hebat oleh media yang selalu menyorot pola kehidupan para aktris, busana, gaya hidup dan lain sebaginya membuat generasi muda (kaum milleneal) mencoba hal baru. Seperti fenomena Jilboobs, memadukan agama dan sekuler (gaya kekinian), memilih pemimpin yang seagama namun dalam kenyataannya si pemimpin cenderung memilih hidup kekinian, Fuad Amin dan Ratu Atut contohnya.

Agama harus kembali diletakkan semestinya dalam bingkai manusia dengan tuhannya, tak perlu ikut campur dalam urusan manusia dengan manusianya. Lebih sederhananya, tidak perlu lagi untuk ribut mengenai masalah ideologi dan masalah memilih presiden atau gubernur harus seagama. Alm. Nurhcolish majid memberi arahan untuk setia kepada suatu ide yang besar, kecenderungan untuk mempeributkan hal-hal kecil yang tidak relevan dengan masa depan bangsa membuat kita akan berjalan di tempat. Al-Qur'an mengharuskan kita untuk mempersiapkan hari esok (QS : Al-Hasyr : 18) dan bagaimana cara kita mempersiapkan? Jelas dengan akal pikiran (rasio).

Saat ini, masyarakat di Indonesia seperti terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, mereka yang merongrong dan menuntut pancasila untuk diganti, kedua, mereka yang tetap menjunjung tinggi pancasia dan yang ketiga, mereka yang tidak memperdulikan itu semua. Pertama dan Kedua sering kita lihat beritanya di berbagai media, cetak maupun elektronik namun yang ketiga jarang kita lihat tapi menarik untuk disaksikan, karena memang diisi oleh hiburan, keglamoran dan keseksian dan lain semacamnya.

Jika kita memberikan perhatian kepada yang pertama dan kedua, maka jelas Indonesia tidak akan kemana-mana. Dengan memberikan perhatian kepada yang ketiga, kita tahu, bahwa bangsa ini sedang mengarah kemana, sekuler atau agama. Dengan memberikan jalan kepada arah sekuler, maka tayangan di Indonesia tidak perlu lagi untuk mengalami kesensoran karena dengan ilmu pengetahuan, maka acara apa yang layak dan perlu di tonton di televisi. Begitu juga di media sosial internet, kominfo tak perlu lagi sibuk melakukan sensor ini dan itu, karena masyarakat sudah menggunakan akal apa yang baik bagi dirinya sendiri.

Jika menggunakan agama, pihak pertelevisian akan tetap menggunakan sensor ini dan itu, jelas kita yang menonton tidak akan menikmatinya. Dan kita tetap tidak akan merasa dewasa, karena mereka secara kacau menayangkan hal-hal buruk yang memberikan kita dampak untuk mengikuti pola yang ditonton. Begitu juga di internet, kominfo akan sibuk men-sensor ini dan itu apa yang baik yang diakses dan karena tidak ada pemahaman dan pembelajaran bagi kesalahan yang sudah-sudah.

Dengan yang ketiga itu kita kecolongan bukan? Nah langkah pertama ialah untuk menyatukan dalam perbedaan. Mari, yang berisik dulu kita damaikan, seperti yang berteriak bahwa Indonesia tidak pantas menggunakan ideologi pancasila, karena tidak ada dalilnya. Di NU, KH. Abdurrahman Wahid dan KH. Mustofa Bisri beserta koleganya berhasil merumuskan bahwa NU menerima Pancasila sebagai ideologi bangsa di muktamar tahun 1984 di Situbondo (Mansyur, Wahid, 2014: 10). Karena, hal ini juga berdasar pada fatwa muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin tentang kewajiban mempertahankan kerajaan Hindia Belanda sekalipun diperintah oleh penguasa non-muslim (ibid, 10). Jelas, dapat dilihat bahwa islam mengalami perbedaan, namun disisi lain ternyata perbedaan tidak dikelola dengan baik bahkan umat yang lain cenderung menempuh jalan lain. Demonstrasi.

Sayangnya, mungkin hanya NU dan Muhammadiyah yang sepakat tentang pancasila sebagai ideologi bangsa. Jika, demikian, maka Penulis menawarkan bahwa kita perlu berembuk kembali, jangan hanya kelompok NU dan MU yang sepakat. Mengapa tidak semuanya sepakat? Oleh sebab itu ada baiknya mempertemukan para tokoh-tokoh agama. Din Syamsudin, Quraish Shihab, Said Aqil Siradj, Mustofa Bisri, Habib Rizieq Shihab, Felix Siaw, Emha Ainun Najib, Ahmad Syafi'i M dan para tokoh agama islam yang di moderatori menteri agama untuk mengusung tema "1 Islam : Kemajuan, Perbedaan dan Kesabaran". Untuk berbicara tentang proses kemajuan islam di Indonesia, bagaimana tentang proses modernisasi, globalisasi cara mengatasi secara moderat dan solusi tentang perbedaan tanpa harus menjunjung tinggi kekerasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun