Mohon tunggu...
Akhmad Faishal
Akhmad Faishal Mohon Tunggu... Administrasi - Suka nonton Film (Streaming)

Seorang pembaca buku sastra (dan suasana sekitar) yang masih amatiran.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perpustakaan Nasional, di Manakah Keberadaanmu?

20 Agustus 2019   09:36 Diperbarui: 20 Agustus 2019   09:52 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Halo, kembali saya menyapa anda melalui tulisan ini. Dan, kali ini saya membahas mengenai perpustakaan nasional (perpusnas)---menggunakan huruf kecil, karena, itu bentuk kritik saya mengenai pengacuhan ketika banyak terjadi razia buku yang menghambat arus literasi oleh kelompok atau golongan tertentu dan pihak perpusnas seakan tak bereaksi apa-apa.

Lalu, lantas mengapa harus dibangun gedung sampai setinggi 27 lantai itu? Apa, hanya dibangun sebagai sekedar simbol belaka dan makna yang berkabut?

Wkowkwokwo... asal tahu saja, bahwa bangunan perpusnas itu tertinggi di dunia, lho. Dengan yang paling tinggi harusnya dapat melihat dengan baik, apa saja peristiwa yang terkait pada literasi dan peredaran buku-buku di masyarakat. Namun, nyatanya, ketika ada peristiwa Vespa Literasi di probolinggo (27/7) dan Gramedia di Makassar (3/8), perpusnas tak ambil bagian ikut bersuara mengenai kejadian itu.

Padahal, dengan sedikit kata saja, masyarakat dapat memahami (boleh jadi menghakimi : "apa saja kerja perpusnas selama ini?! apa hanya seminar dan seminar?!") mengenai peran mereka. Secara fisik, perpusnas terletak di Jakarta, tepatnya di alamat Jl. Merdeka Selatan No. 11, tetapi secara peran nyata turun ke bawah belum ada beritanya. Apalagi, sekelas kejadian paling heboh itu, razia buku-buku kiri oleh kelompok dan golongan tertentu juga pihak-pihak keamanan, yang sejatinya sudah tidak menjadi bagian dari itu.

Pada momen tersebut, pihak perpusnas harus bergerak cepat, kecuali apabila peran terbesar perpusnas ialah administrasi dan seminar, ah, sudahlah kalau begitu... tak ada kata lain selain membiarkan dan diam. Sekedar heboh, menarik perhatian, karena bangunan tinggi 27 lantai itu, cukuplah. Selanjutnya, ya, ala kadarnya saja peran mereka.

Saya hanya merasa heran, karena perpustakaan dibangun dibeberapa tempat, jumlahnya ratusan ribu, tetapi mengapa literasi masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Buktinya, fakta di lapangan menunjukkan : ternyata, mereka yang merazia buku dan merampas dengan paksa hanya membaca sekilas, tak keseluruhan! Tak heran prof. Romo Magnis Suseno menganggap peristiwa di Makassar itu sebagai kebodohan (inginnya, sih, menulis kata itu dengan huruf kapital, tetapi tak tega dan akan sangat memalukan).

Hmm... kalau tidak salah, Al-Mukarrom, Guru Besar di Dunia Islam, Imam Al-Ghazali pernah memberikan petuah, yakni :

  • Orang yang pintar, tahu dirinya itu pintar
  • Orang yang pintar, tetapi tidak tahu dirinya pintar
  • Orang yang bodoh, tahu dirinya itu bodoh
  • Orang yang bodoh, tetapi tidak tahu dirinya bodoh.

Ini penting, untuk saya dan para pembaca yang baik agar tidak mudah tersinggung dan bersama-sama menundukkan nafsu marah ketika tahu dirinya benar maupun salah. Bahwa, merazia buku, hanya karena sekedar melihat abstraknya saja, tentu bukanlah tindakan yang bijaksana. Apa, ada jaminan Surga bagi orang-orang yang bodoh? Firman Allah yang mengatakan "Berlomba-lombalah dalam kebaikan", apa ditafsirkan kebaikan sama dengan kebodohan? Dan perpustakaan nasional membiarkan hal itu?! Duh, malu pada gedung.

Saya pikir sebagian besar perpustakaan bukan lagi bermakna gudang ilmu, melainkan hanya sekedar gudang saja! Karena, coba amati seberapa banyak masyarakat mendatangi perpustakaan kota, daerah, sekolah, dan tidak termasuk universitas? Pasti pengunjungnya masih lebih banyak pergi ke toko buku, baik yang konvensional atau tradisional. Oh, ya, toko buku tradisional di jalan Semarang itu ramai, lho! (jika menilik statistik di provinsi Jatim atau Surabaya).

Dan, jika berbagai perpustakaan sebagai lembaga yang dianggap sebagai gudang ilmu diam, maka artinya guyuran air terjun literasi dari sumbernya memang benar-benar telah kering kerontang. Lalu, yang tersisa ialah ceceran air becek di jalanan. Tak heran muncul lapak-lapak kecil di emperan jalan sebagai bentuk solidaritas atas peristiwa Kudatuli itu (dimaksudkan untuk tidak hanya mengingat peristiwa PDI, tetapi juga peristiwa razia buku. Hahhaha.. maaf, para kader PDIP).

Oh, ya, saya menulis ini hanya bermodalkan semangat agar literasi (membaca buku) meningkat, walau tak signifikan. Setidaknya, ada sebuah kampung atau kelompok kecil yang gemar membaca buku, sembari bermain internet. Artinya, kemajuan teknologi berbanding lurus dengan semangat membaca buku. Jadi, bila ada pihak yang tersinggung dengan tulisan ini, mohon jangan marah, tetapi berikan saya wawasan agar menambah pengetahuan. Saya akan diam dan mendengarkan juga mari duduk bersama saling bicara dan mendengar tanpa ada pihak-pihak yang mendominasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun