Mohon tunggu...
Akhmad Faishal
Akhmad Faishal Mohon Tunggu... Administrasi - Suka nonton Film (Streaming)

Seorang pembaca buku sastra (dan suasana sekitar) yang masih amatiran.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyadari Keberadaan Perpustakaan Nasional

15 Agustus 2019   10:07 Diperbarui: 15 Agustus 2019   10:44 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hahahaha... ya, saya tertawa melihat berbagai maraknya peritiwa razia buku oleh golongan tertentu, tetapi perpustakaan nasional tak memberi tanggapan apapun. Padahal, gerakan literasi yang seharusnya dijadikan sumber ialah perpustakaan. Lembaga yang didirikan oleh bangsa Indonesia seharusnya lebih giat, licin dan bersuara lantang terhadap tindakan dangkal itu.

Media pun melupakannya. Hampir tidak ada media yang mendatangi perpusnas untuk dijadikan sumber berita itu, bahkan, dalam akun twitter @perpusnas1 pun tidak ada ucapan belasungkawa atas terjadinya hal itu. Padahal sumur pengetahuan yang dibor setinggi 126,3 meter (tertinggi di dunia) dengan 27 lantai diam saja melihat hal itu.

Padahal, kalau pun ingin bersuara, bersuaralah dengan lantang,"Kami juga memiliki buku-buku kiri yang dijual itu! Jangan hanya merazia buku-buku di yang dianggap terlarang di toko buku. Kesinilah, razialah juga agar otak tak menumpul!"

Namun, mungkin karena ini zaman bisnis, dan perpustakaan tak memiliki unsur bisnis sehingga media melupakannya. Sekalipun perpustakaan nasional merombak diri menjadi lebih modern (katakanlah orang tua umur 70 tahun disulap menjadi 25 tahun), tetapi, toh, tak ada perhatian sekalipun ada momen sepenting itu.

Najwa Shihab, Romo Franz Magnis Susesno (yang bukunya terkena razia golongan tertentu kemudian marah dan menganggap itu sebagai kebodohan besar) dan bahkan, penyanyi Glenn Fredly pun turut bersuara. Hanya, mengapa perpustakaan yang dianggap sebagai gudang ilmu pengetahuan, sumber berbagai referensi diam tak bersuara?

Seharusnya, merekalah polisi keamanan dalam hal literasi. Memberikan referensi tentang bacaan yang baik, kurang baik tetapi ada resiko kemajuan disitu, dan bacaan untuk berbagai jenis orang kepada masyarakat. Dan, ingat hanya sekedar referensi, bukan untuk melarang berbagai macam pengetahuan bahkan untuk yang radikal sekalipun. Karena, hal itu baik untuk adu pikiran.

Ingat, bagaimana paham demokrasi, liberal, komunis, sosialis, bahkan sampai yang kapitalis muncul. Renaisans tidak akan ada kalau pengaruh kuatnya gereja pada abad pertengahan di Eropa tidak runtuh. Dan itu upaya berbagai tokoh-tokoh pemikir yang pada saat itu berusaha (berjuang) keluar dari kungkungan pemahaman gereja yang dianggap mengebiri ilmu pengetahuan.

J.J. Rosseau dan lainnya merupakan tokoh-tokoh renaisans yang menyebarkan pemahaman sampai pemikiran ke luar negeri. The Wealth of Nations, karya Adam Smith muncul bersamaan dengan kemerdekaan Amerika. Lalu, sosialis-marxsisme-leninisme-stalinisme-komunis berkembang untuk melawan dominasi penguasaan liberal-kapitalis dan kalah kemudian dianggap sebagai ideologi terlarang. Padahal, sejarah tentang sosialis selalu mendasarkan pada masyarakat, bukan orang per orang atau kelompok kecil tertentu. Intinya, semangat untuk senasib-seperjuangan dan hal ini berusaha agar di dalam masyarakat tak terdapat kesenjangan yang dapat sering memunculkan konflik.

Dan seharusnya beradu ide tak sama halnya bagaimana ide itu dapat diterapkan secara keseluruhan. Kalaupun ide sosialis dianggap benar, toh, itu pun tak dapat diaplikasikan ke masyarakat, karena di dalam kepala masyarakat telah tertanam untuk saling berkompetisi secara (liberal) menguasai sesuatu benda (kapital). Sayangnya, karena literasi kita ternyata sungguh rendah, lebih menyukai urusan yang cepat (instan) dan menarik sehingga beranggapan bahwa kita tidak memiliki waktu yang lama untuk sekedar membaca.

Juga, ini merupakan dugaan saja bahwa orang-orang pintar dan sudah kaya (mapan) tidak memberikan kesempatan bagi orang-orang awam, biasa, untuk belajar juga membaca. Jadi, pemahaman mereka berhenti di waktu itu dan selamanya beranggapan bahwa sesuatu yang terjadi pada hari ini diakibatkan karena penyebaran ideologi waktu itu. Pendek kata, sebuah paranoid.

Belajar merupakan sikap untuk terus merendah hati dan tidak beranggapan bahwa dirinyalah yang pintar. Karena, belajar merupakan mengais pemahaman secara obyektif, meminjam kata-kata alm. Nurcholish Madjid, yakni menerima dirinya salah dan orang lain benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun