Rasanya sekolah menjadi sesuatu yang tidak penting lagi. Jenjang tahapan juga tidak perlu kita lalui. Seorang anak kecil juga akan sendirinya beranjak dewasa tanpa perlu belajar mata pelajaran di sekolah. Cukup CALISTUNG, mereka dapat memasuki dunia yang mereka inginkan. Tanpa paksaan tentunya.
Dulu, cita-cita paling banter ialah menjadi dokter. Sekarang, sayup-sayup terdengar anak-anak generasi Alpha dan Betha memilih untuk menjadi seorang vlogger. Youtuber dan sejenisnya. Hiburan menjadi pilihan.Â
Om Deddy pernah mengatakan bahwa seharusnya murid tak perlu mendongkrak nilai yang dianggap menurun, melainkan belajar fokuslah pada nilai yang terlihat tinggi. Artinya, jika nilai matematika enam dan bahasa tujuh atau delapan, maka tingkatkanlah mata pelajaran bahasa. Karena, disitulah ia unggul.
Albert Einstein unggul dalam bidang Matematika dan Fisika, tetapi ia kurang dalam mata pelajaran bahasa dan filsafat. Ia tidak diterima dalam sebuah universitas, lalu suatu waktu ia diloloskan begitu tahu ia sangat unggul dan memuaskan dalam kedua mata pelajaran tersebut. Setahun berikutnya, ia lolos memasuki universitas tersebut tanpa perlu mengikuti ujian lagi.
Namun, di Indonesia sistem tidak berjalan luwes seperti itu. Semua nilai harus baik, jika ingin lulus. Standar hidup dalam masyarakat. Wajib belajar dua belas tahun. Nah, belajar tentu tidak di sekolah, dong? Wajib belajar, bukan wajib sekolah.Â
Memang, seberapa penting kehidupan sekolah pada saat ini, manakala kehidupan semakin kompleks dan konflik justru tidak berkurang (walau hidup penuh masalah dan konflik). Kesenjangan pun juga tidak berubah, alam pun semakin terkikis dengan kehidupan modern yang berubah, termakan, oleh teknologi.
Anak-anak menjadi lebih dewasa sebelum waktunya, seiring perkembangan teknologi (bukan zaman). Penyebaran informasi terlalu masif untuk dapat dibatasi.Â
Sekolah dengan jumlah murid yang banyak pun belum tentu memiliki lulusan yang alumninya bagus-bagus. Budaya bergeser. Banyak yang melakukan hubungan biologis secara berlebihan. Berciuman bibir sampai berujung pada seks bebas.
Sepertinya, mereka terpenjara dalam aktivitas di sekolah. Belajar ternyata begitu jenuh hingga mereka memilih pelarian seperti itu untuk menghilangkan stress. Tawuran antar pelajar nampaknya juga begitu.Â
Energi mereka diredam dengan paksa dan keluar sewaktu-waktu seperti bom dengan tanpa arahan yang jelas. Rupanya, revolusi mental dari pak Joko Widodo gagal total.
Jam belajar yang panjang mulai jam setengah tujuh sampai dengan jam dua siang hingga jam setengah empat sore tak cukup ampuh. Pelajaran akhlak pun rasanya kurang mantab, mengingat hiburan di luar sekolah begitu masifnya.Â