Mohon tunggu...
Yurisqi Mukdisari
Yurisqi Mukdisari Mohon Tunggu... Ilmuwan - ENFJ-T

Branding myself become what you think right now, but writting never lies.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengapa Merasa Tidak Bahagia?

13 Juni 2020   14:46 Diperbarui: 13 Juni 2020   14:48 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa bulan ini saya menemui hal menarik. Beberapa teman bercerita bahwa hidupnya sangat menyedihkan, tidak semangat, merasa lelah, dan tidak bahagia. Bagi kebanyakan orang mereka bekerja di perusahaan ternama, kuliah di tempat bergengsi, bahkan lahir dari keluarga kaya. Ternyata material seperti itu tidak serta merta membuat bahagia. Terbukti dari banyaknya yang masih mengeluh ditengah kesempatan mereka dalam merasakan privilege. 

Padahal mungkin orang lain tidak milikinya, bahkan sangat mengidam-idamkannya. Cerita mereka mengingatkan saya ketika membaca beberapa sumber yang menjelaskan sebenarnya apa itu kebahagiaan, dan bagaimana kita meraihnya. Walaupun saya yakin faktor terbesarnya memang parameter kebahagiaan orang pasti berbeda-beda. Tapi apakah Ketika kita mencapai parameter tersebut kita akan bahagia?

Ternyata beberapa penelitian menunjukkan bahwa semakin kita mengejar kebahagiaan, semakin perasaan stress dan kecewa itu muncul. Hal itu disebabkan target dan ekspektasi yang kita inginkan menjadi semakin tinggi terhadap kebahagiaan yang ingin diraih. 

Salah satu contohnya, ketika kita berpikir bahwa memiliki pekerjaan di perusahaan multinasional dengan gaji tinggi menjadi sumber kebahagiaan, maka hal tersebut memiliki konsekuensi kesibukan pribadi, kurangnya istirahat, beban kerja yang tinggi, manager yang kurang koperatif, atau mungkin rekan kerja yang tidak saling mendukung. 

Hal tersebut mempengaruhi perspektif dari ekspektasi kebahagiaan yang ingin diraih. Alih-alaih merasa bahagia ternyata justru merasa kecewa, tidak becus, lelah, dan akhirnya stress. Beberapa artikel menunjukkan bahwa kebahagiaan bagaikan binatang pemalu, semakin dikejar Ia akan semakin lari menjauh.

Teori tersebut juga mengingatkan saya terhadap teori toxic positifity. Hal ini juga saya pelajari dari beberapa sesi yang saya lakukan denga psikolog, dimana saya belajar untuk menerima perasaan kecewa, marah, dan negatif yang ada. Jangan terus mendesak diri untuk merasa baik dan mengkamuflase perasaan seolah-olah tidak apa-apa dan bahagia. 

Perasaan negatif yang muncul seperti marah, sedih, kecewa adahal hal manusiawi. Perasaan tersebut memang harus kita terima, sadari kehadirannya. Poin pentingnya adalah ketika kita sedih, tidak apa menangis, tapi setelah itu kita bisa melanjutkan hidup kembali. Jangan terus menerus terpuruk di kasur berbulan-bulan, menangis dan terlilit perasaan negatif lain yang justru membawa pada masalah baru yang lebih kompleks.

Perasaan positif palsu sering pada akhirnya kita buat, seperti berpura-pura kuat, merasa tidak apa-apa, membuat benteng untuk menyembunyikan kesedihan, kekecewaan, kemarahan, bahkan keberanian. Jika bertahun-tahun akan menimbulkan masalah baru. Pada akhirnya seseorang tidak tahu apa yang sebenarnya dia suka, apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidup. 

Perasaan yang menjadi lumpuh ini juga menyebabkan seseorang merasa hambar, kehilangan kesempatan untuk memahami perasaan yang hadir, apakah itu kebahagiaan atau sebaliknya.  

Poin penting yang juga menarik adalah timbulnya perasaan insecure. Perasaan ini tumbuh akibat menggantungkan target kebahagiaan kita pada kondisi orang lain. Di era saat ini contohnya, media sosial membuat kita menjadi dengan gamblang bisa melihat kehidupan orang lain. Menonton kebahagiaan orang lain membuat kita memiliki keinginan untuk mejadi lebih bahagia dan memiliki hidup yang lebih indah. Dengan target yang ditetapkan pada kehidupan orang lain membuat kita terus mengejar tanpa ada ujung garis finisnya. Padahal semakin dikejar kebahagiaan akan semakin menjauh.  Hasrat tersebut tidak menjadikan hidup seseorang lebih bahagia. Penelitian menunjukkan Ketika seseorang menerapkan standar kebahagiaannya dengan standar orang lain, tidak mejadikan orang itu bahagia saat mencapainya.

Ternyata banyak sekali faktor kompleks yang terjadi untuk menggapai kebahagiaan. Saya sendiri memilih memisahkan antara kebahagiaan dengan kepuasan hidup. Ketika saya mengejar target dan ambisi menjadi salah satu cara saya dalam menggapai kepuasan dalam hidup. Sehingga saya tidak lagi menggantungkan kebahagiaan saya dari keberhasilan mencapai hal tersebut. Karena pada dasarkan saya adalah seorang people pleaser. Target kehidupan saya sebagian besar menjadi sosok yang dapat dibanggakan orang lain, seperti orang tua misalnya. Hal ambisius tersebut justru menyebabkan bertahun-tahun saya tidak pernah bahagia. Semakin dikejar, semakin terasa jauh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun