Mohon tunggu...
Yuris Hamdani
Yuris Hamdani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pembelajar Sepanjang Hayat | HSE worker | Safety Engineer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(T)iba di Jakarta

15 Oktober 2016   21:09 Diperbarui: 15 Oktober 2016   22:34 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 Amin. Itu saja yg kuingat dari nama panjangnya ketika ia sebutkan dengan setengah malu-malu. 

 Malam tak juga mengirimkan sunyi disini. Seperti di kawasan Jakarta lainnya, malam tetaplah menghadirkan riuh kendaraan, deru knalpot dan sejumlah keramaian khas jalanan ibukota. Terlebih, ratusan pekerja proyek infrastruktur disini masih setia dengan periuk-belanganya; lembur kerja.

 Lelaki itu bertubuh cungkring, mengenakan jersey bola warna putih, tipis, celana jins, sendal jepit dan kacamata. Tampak masih muda. Hanya, ia bagai pucuk waribang yang patah tangkainya; layu. 

 Sementara malam Jakarta masih terasa sumuk. Kami yang duduk mengerumuni lelaki itu mendengar kisahnya dengan seksama.

 "Saya asli Tuban pak, niat ke Jakarta untuk cari kerja, saya berangkat bersama kawan tetangga desa yang mengajak dan menjanjikan saya untuk bekerja di Jakarta. Lalu begitu kami tiba di Jakarta, kawan saya mengajak untuk istirahat di kontrakannya di daerah Warakas Jakarta Utara. Awalnya saya merasa biasa saja pak, sampai saya tertidur pulas.."

 Lelaki itu menghela nafas sambil tampak mengatur tempo bicaranya.

 "Lalu tiba-tiba saya dibangunkan oleh ibu yang punya kontrakan. Saya terkejut karena dia menagih biaya sewa kontrakan yang baru saya tinggali itu."

 Wajah lelaki itu berubah mendung. Air mukanya tenggelam, badai rasa takut, kecewa, sedih, pasrah dan nelangsa hampir pecah di kedua matanya. 

 "Saya makin bingung, saya cari teman saya itu tidak ada. Lalu semua barang bawaan saya yang dibawa dari kampung juga tidak ada, yang saya punya hanya tinggal apa yang saya kenakan. Saya sedih pak. Saya nangis. Tidak tahu harus berbuat apa, bagaimana, kemana, menghubungi siapa?"

 Kami masih mendengarkannya bercerita dengan seksama. Tampak beberapa dari kami ikut terbawa suasana. Sementara Jakarta masih sumuk udaranya.

 "Saya jalan kaki tanpa tahu kemana arah tujuannya. Saya hampir putus asa. Lalu sampai saya ketemu dengan sekuriti di area proyek ini di sebelah sana. Dia menawari saya makan dan tinggal sementara di pos jaga tempatnya. Lalu sambil istirahat di pos jaga itu saya sedikit tanya-tanya tentang proyek ini. Kalau bisa saya mau kerja disini pak. Kerja apa saja, dibayar setengah gaji pun tidak apa-apa, yang penting saya dapat uang supaya cukup buat ongkos pulang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun