Mohon tunggu...
yuri alfred parus
yuri alfred parus Mohon Tunggu... lainnya -

just an ordinary person..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Penantian

27 Februari 2015   18:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:25 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Evi menggerak-gerakkan tubuhku yang masihenggan diajak bangun. Hari masih sangat pagi. Tidak biasanya dia membangunku sepagi ini. Aku bangkit lalu duduk dengan linglung lantaran sisa mimpi masih terbayang dalam benakku.

“Ada apa,” tanyaku dengan acuh.

“Sayang, positif,” jawabnya sembari menunjukkan sebuah benda kepadaku. Sebatang test preg.

Benda yang di genggam Evi itu seperti cambuk yang melecut tubuhku. Kesadaranku seketika pulih. Aku meraih benda berwarna putih itu dari tangannya. Kuperhatikan dua garis merah melintang di salah satu ujungnya. Garis merah itu menandakan bahwa Evi sedang hamil. Aku bingung. Demikian pula dirinya.

“Hamil ya,” kataku perlahan.

Evi tidak menjawab. Ia hanya mendesah. Ini adalah tahun keempat perkawinan kami. Sepanjang itu Evi telah tiga kali hamil. Namun mungkin Tuhan menghendaki lain. Ia selalu saja mengalami keguguran. Masih teringat di benakku peristiwa empat tahun silam, ketika untuk pertama kalinya Evi mendapati rahimnya telah tubuh bakal manusia. Ia girang bukan kepalang. Meski usia kandungannya masih dini, ia selalu mengusap perutnya. Sepertinya ia coba memberitahu pada mahluk kecil yang ada di dalam sana agar tidak cemas, karena ada seseorang bernama Ibunda yang akan merawatnya kelak.

Dengan segenggam asa dalam hati, kami pun segera mengunjungi dokter kandungan. Di atas tempat tidur di ruang praktek dokter, Evi memandang sebuah monitor berlayar hitam dengan lekat. Aku tahu ia sedang berharap-harap cemas. Akupun demikian. Lalu sang dokter menekankan sebuah alat entah apa namanya di perut Evi. Sebentuk citra tampil dalam layar gelap itu. Ada sebuah titik kecil yang terlihat di situ.

“Itu janinnya, masih sebesar biji jagung,” ujar dokter sembari jarinya menunjuk pada titik kecil berawarna putih itu. Evi tersenyum bahagia. Belum pernah kulihat dia sebahagia ini. Tangannya yang kecil itu kugenggam erat-erat. Ada sebentuk rasa yang ganjil mengalir dalam diriku. Sebuah perasaan yang berbisik bahwa aku akan segera menjadi seorang Ayah.

Sang dokter, seperti kebanyakan dokter kandungan lainnya, memberi anjuran-anjuran agar kehamilan Evi tetap terjaga dengan baik. Ia juga meresepkan beberapa vitamin yangkatanya berguna untuk menambah asupan gizi sang janin. Harga vitamin-vitamin itu mahal. Namun bukankah uang tidak ada artinya dibandingkan dengan kebahagiaan yang tengah kami rasakan itu?

Kebahagiaan itu terampas begitu saja tepat pada saat kehamilan memasuki usia tujuh minggu. Evi mengatakan dia mengalami flek. Aku bingung karena tidak paham maksudnya. Melalui layar kecil ponsel, kuselancari dunia maya untuk mencari informasi mengenai apa yang dikatakan Evi itu. Wajahku pucat pasi saat menemukan sederatan artikel yang mengulas flek pada wanita hamil. Kupilih salah satu artikel itu dan kubacakan kepada Evi. Serta merta wajahnya diliputi kecemasan luar biasa.

“Mungkin karena aku kelelahan,” katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun