Saya yakin, sebagian kompasianer sudah mengetahui tentang Makam Troloyo. Walau begitu, untuk kali ini, saya akan menuliskan kembali makam Troloyo sebagai hasil ziarah beberapa makam aulia yang ada di Jawa Timur.
Makam Troloyo sendiri merupakan kompleks pemakaman Islam yang ada sejak masa Kerajaan Majapahit. Sekira abad ke-14, kompleks makam Troloyo yang terletak di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto ini sudah ada keberadaannya.
Menurut salah seorang penjaga kompleks makam Troloyo, Ahmad mengatakan, makam Troloyo ini berasal dari bahasa Citra Pralaya. "Citra artinya tanah yang luas, laya artinya pati. Dengan kata lain, citra pralaya ini memiliki arti tempat yang luas dan dikhususkan untuk orang beragama Islam yang sudah meninggal dunia," ujar Ahmad sembari memberi petunjuk kepada para peziarah yang baru datang di komplek makam Troloyo.
Seperti kebanyakan perilaku orang Jawa yang sulit mengucapkan Citra Pralaya maka disingkat menjadi Troloyo. Makam Troloyo ini berkaitan erat dengan Syekh Jamaluddin Al Husain Al Akbar alias Sayyid Husein Jumadil Kubro atau biasa disebut Syekh Jumadil Kubro Sayyid Jumadil Kubro. Dan para peziarah biasanya menyebut makam Syekh Jumadil Kubro.
Di dalam kompleks makam Troloyo ini ditemukan beberapa nisan bercorak Islam dengan angka tahun 1350 dan 1478. Setidaknya, ada 19 nama yang dimakamkan di makam Troloyo ini. Diantaranya Syekh Al Chusen, Imamudin Sofari, Tumenggung Satim Singomoyo, Patas Angin, Nyai Roro Kepyur, Syekh Jumadil Kubro.
Sunan Ngudung, Raden Kumdowo, Ki Ageng Surgi, Syekh Jaelani, Syekh Qohar, serta Ratu Ayu Kenconowungu. Kompleks makam Troloyo memiliki luas sekira 3,5 hektar. Setiap kompleks dikelilingi oleh tembok khas Majapahit dengan hiasan lambang Surya Majapahit menempel di dinding yang memiliki empat pelataran atau empat kompleks makam besar.
Dinding bata berdiri setinggi 1,8 meter. Antara satu kompleks dengan kompleks lainnya dihubungkan oleh jalan setapak berpaving yang melambangkan hubungan antar kompleks tersebut. Jalur masuk ke kompleks makam berbeda dengan jalur pulang. Ini dimaksudkan agar peziarah tidak bertabrakan.
Di pinggir kompleks tumbuh beberapa pohon beringin yang usianya ratusan tahun, teduh, tinggi menjulang. Seringkali pohon beringin ini dijadikan latar foto bersama kelompok peziarah.