Siapa tidak mengenal turnitin? Lingkungan kampus yang berisi insan akademik dosen dan mahasiswa akrab dengan turnitin karena dikenal sebagai musuh plagiarisme, anti ciplak-menciplak atau copas sana - copas sini.Â
Banyak kampus yang menyeleksi hasil penelitian mahasiswa secara ketat dengan menggunakan aplikasi turnitin ini. Tetapi, mungkin tidak banyak orang menyadari bahwa turnitin ini menciptakan kejahatan akademik karena kecenderungan memanipulasi hasil penelitiannya agar bisa lolos turnitin. Hanya demi lulus turnitin!
Untuk itu, lebih baik lupakan saja turnitin itu dan mulailah belajar dan berlatih untuk menuliskan apa saja yang ada dalam pikiran Anda sendiri dan menuangkan secara bebas tanpa merasa terus terganggu dan dikejar oleh hantu turnitin itu.Â
Menuliskan sendiri apa yang ada di dalam pikiran sendiri merupakan cara ampuh lolos dari turnitin atau alat apapun lainnya.Â
Sementara, tuntutan profesi sebagai akademisi tidak bisa ditunda dan harus dipenuhi secara periodik. Kalau tidak, maka akibatnya bisa merugikan si dosen itu sendiri.Â
Yang terjadi kemudian adalah kecenderungan  mengambil jalan pintas dan instan dengan cara "apa adanya" hasil penelitian sedemikian rupa asalkan bisa lolos memenuhi persyaratan minimal bagi kebutuhan kepegawaian misalnya, seperti urusan BKD, JJA dan lainnya.
Di kalangan mahasiswa pun demikian. Sejumlah kampus menerapkan seleksi akhir hasil penelitian, dalam bentuk skripsi atau tesis, harus lolos turnitin kalau mau maju sidang untuk memperoleh gelar kesarjanaan.Â
Ada kampus yang mensyaratkan maksimal hanya 20% untuk bisa lolos, lebih dari itu si mahasiswa harus merevisi ulang naskah hasil penelitiannya.
Di sinilah pintu "kejahatan" itu dimulai. Yaitu si mahasiswa harus berpikir keras untuk "mengakali" hasil risetnya agar mampu melewati pintu si turnitin. Dan Anda bisa menduga apa yang terjadi kemudian.Â