Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kenali Jurang Kesenjangan Pekerja Menuju Tahun 2030

22 Oktober 2020   07:30 Diperbarui: 25 Oktober 2020   03:52 2671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: davegranlund.com

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa krisis akibat pandemi Covid-19 telah memperkuat dan mendorong serta akselerasi teknologi sebagai iplementasi dari revolusi industri 4.0 dengan isu sentral disrupsi di segala aspek dan bidang kehidupan manusia.

Tidak terelakan lagi perubahan peta masa depan dari dunia pekerjaan yang menyajikan kesenjangan signifikan antara para pekerja yang level rendah, pekerja anak muda, pekerja perempuan, dan bahkan yang memiliki skill rendah atau unskill worker.

Pemberlakuan WFH dan PSBB serta beragam kebijakan pembatasan mobilisasi orang, mendorong sangat kencang akselerasi teknologi berbasis aplikasi dalam memfasilitasi dinamika ekonomi dan bisnis secara online. Dengan segala macam dinamika dan warna-warni yang menyertai seperti dunia media sosial sebagai pengikat semua inovasi dan kreativitas publik untuk tetap esksis di tengah keterbatasan, kesulitan bahkan resesi ekonomi.

Hasil riset yang dilakukan oleh lembaga konsultan dunia yaitu McKinsey and Company tentang peta masa depan pekerjaan di Indonesia sangat menarik. Ini bisa menjadi rujukan bagi semua pihak yang memberikan perhatian serius pada dunia pekerjaan yang harus dicermati dan diantisipasi sebagai peluang bagi Indonesia.

Seperti diberitakan oleh bisnis.com bahwa McKinsey telah membuat pemetaan dan perkiraan kondisi pekerjaan di Indonesia, dimana jelang tahun 2030 akan ada sekitar 23 juta pekerjaan yang hilang dan/atau akan tergantikan oleh automasi.

Ini tentu berita yang merisaukan bagi publik Indonesia yang tidak bisa dihindari sebagai akibat dari penerapan teknologi automasi dengan tenaga-tenaga pengganti yaitu mesin atau robot.

Sebuah fenomena yang berlaku secara global tanpa terkecuali, cepat atau lambat semua negara akan mengalaminya. Yang cepat merespons secara proaktif bisa jadi akan menjadi pemenang dalam perlombaan kemajuan.

McKinsey juga mengestimasi akan ada sekitar 37 juta lapangan pekerjaan yang baru bertumbuh maupun lahir memasuki 10 tahun ke depan. Indonesia di tahun 2030, dikenal sebagai mulainya bonus demografi yang akan dinikmati oleh negeri ini.

Dari perkiraan itu, sekitar 27 juta akan bertumbuh lapangan pekerjaan sebagai konsekuensi dari peningkatan kemajuan ekonomi Indonesia, serta sekitar 10 juta potensi lapangan pekerjaan baru akan lahir dalam kurun waktu satu dekade ke depan.

Keadaan ini tentu saja menjadi menarik sekaligus menantang dunia pekerjaan di republik ini. Pertama, bagaimana mengelola 23 juta pekerjaan yang akan hilang? Akan menjadi problem bagi para pekerja yang sekarang sedang eksis dalam lingkungan kerjanya.

Mungkinkah mereka akan mampu memasuki pekerjaan baru yang nampaknya akan sangat berbeda karena tuntutan kompetensi yang berbeda? Atau mereka yang akan terlempar dari dunia pekerjaan dan menjadi korban yang terdampak?

Kedua, pertumbuhan pekerjaan sebanyak 37 juta lapangan kerja baru. Apakah para pekerja atau calon pekerja mampu memasuki lapangan pekerjaan baru yang juga menuntut memiliki skill dan kompetensi yang pasti jauh berbeda dibandingkan saat ini?

Kemajuan penerapan teknologi dalam segala aspek, fitur, varian, dan implikasinya memaksa setiap orang kompatibel dengan new jobs.

Kedua isu di atas nampak sederhana, tetapi sesungguhnya sangat kompleks. Apabila pemangku kepentingan atau stakeholders tidak bergerak cepat meresponsnya maka semua akan menjadi ancaman dan bukan lagi peluang memajukan dunia pekerjaan di masa depan.

Bukan hanya itu, harus dimengerti bahwa akselerasi teknologi bukan mundur atau stagnan tetapi semakin kencang berubah dari waktu ke waktu, yang berarti menuntut kemampuan daya-suai dari setiap pekerja atau kandidat pekerja untuk mempersiapkan diri agar turn in dalam dunia penerapan teknologi dalam dunia pekerjaan.

Ketidakmampuan untuk menyesuaikan dengan tepat dan cepat maka akan menimbulkan jurang kesenjangan di antara pekerja. Baik pekerja level rendah, pekerja muda, pekerja perempuan dan kelompok pekerja yang skillnya rendah.

Ketimpangan akan menjadi masalah serius yang harus dikelola bila hendak mencapai kemajuan yang maksmimal baik secara parsial dan terutama sebagai sebuah keseluruhan dalam dunia pekerjaan di Indonesia.

Jurang kesenjangan antarkelompok pekerja ini sesungguhnya juga menjadi peluang emas bagi para generasi milenial dan generasi Z yang memiliki proporsi jumlah yang signifikan di Indonesia.

Untuk itu menjadi sangat penting dan mendesak untuk melakukan peningkatan kompetensi dan kalau perlu melakukan reskilling agar mampu turn in dengan peluang pekerjaan baru yang terus terbuka.

Mencermati dan memilih kompentensi dan skill yang menjadi kebutuhaan 10 tahun mendatang akan menjadi titik simpul kunci agar mampu bersaing dalam dunia pekerjaan memasuki tahun 2030 dengan ancaman jurang kesenjangan antara pekerja yang semakin melebar.

Yupiter Gulo, 21 Oktober 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun