Apakah betul bahwa penerapan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru itu untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat? K5eadilan seperti apa yang hendak diwujudkan oleh penerapan sistem zonasi ini?
Sangat susah mengerti maksud keadilan yang didengung-dengungkan sebagai alasan utama sistem zonasi "dipaksakan" diterapkan oleh Mendikbud untuk menyaring siswa-siswa yang akan di terima di sekolah-sekolah negeri.
Bayangkan saja, hasil seleksi penerapan sistem zonasi ini sebagian sudah diumumkan, tetapi persoalan semakin bermunculan dimana-mana, sebagai indikasi bahwa sesungguhnya keadilan itu koq semakin tidak jelas bentuknya. Terutama ketika banyak orang tua siswa yang berteriak, merana karena anak-anak mereka masih belum mendapatkan tempat sekolah.
Tidak hanya itu, "permainan" zonasi dengan parameter jarak rumahnya dengan sekolah semakin menjadi arena "manipulasi" yang entah di sengaja atau tidak, tetapi sungguh-sungguh itu menjadi kenyataan. Kenyataan yang menganulir tujuan keadilan sebagai tujuan penerapan sistem zonasi dalam PPDB ini.
Keadilan bagi siapakah sistem zonasi ini diperuntukkan, ketika banyak anak-anak yang sesungguhnya sangat membutuhkan untuk masuk sekolah negeri karena ketidakmampuan ekonomi keluarganya, tetapi mereka tidak mendapatkannya. Apakah bagi mereka keadilan penerapan sistem zonasi ditujukan? Atau kepada mereka yang pandai untuk melakukan "manuver" yang menyimpang sebagai akibat lemahnya atau ketidaksiapan dalam penerapan sistem zonasi yang sangat kontroversial ini?
Lihat saja apa yang terjadi di Kotamadya Bekasi hari ini, tempo.co memberitakan kalau "PPDB Bekasi, Dinas Pendidikan digeruduk oleh ratusan orangtua siswa". Ratusan orang tua siswa di Kota Bekasi, Jawa Barat, menggeruduk Kantor Dinas Pendidikan Kota Bekasi, Jalan Lapangan Tengah, Bekasi Timur. Mereka memprotes verifikasi jarak rumah dengan sekolah (zonasi sekolah) yang melenceng dari verifikasi awal.
Orangtua merasa diperlakukan tidak adil karena nampaknya ada yang tidak beres dalam verifikasi jarak antara sekolah dengan rumah mereka.
Adapun Andri, warga Jatibening, Pondok Gede, jarak sebenarnya rumah dengan sekolah hanya 600 meter tapi menjadi 2.000 meter dalam verifikasi. Walhasil, anaknya terlempar dari seleksi PPDB. Andri datang ke Dinas Pendidikan untuk meminta perbaikan sebab PPDB SD dan SMP di bawah wewenang pemerintah kabupaten/kota. "Saya datang dari pagi, tapi belum diproses sampai sekarang," kata dia.
Mungkin saja akan dikatakan bahwa jumlahnya sangat sedikit dan tidak signifikan jumlah yang bermasalah dibandingkan dengan total yang tidak bermasalah. Tetapi, bukankah justru yang sedikit itu yang perlu di bantu di carikan jalan keluarnya. Sebab kalau dibiarkan maka sesungguhnya "tidak pantas menjadikan keadilan sebagai tujuan penerapan sistem zonasi dalam PPDB ini". Karena mereka yang sedikit itu juga anak-anak bangsa ini yang membutuhkan keadilan.
Sangat disayangkan semua kekisruhan dalam penerapan sistem zonasi PPDB tahun ini. Sebagai indikasi yang sangat kuat tentang lemahnya kesiapan pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan ini. Kendati Presiden Jokowi sudah memerintah perubahan peraturan, tetapi nampaknya sudah sangat terlambat, karena situasi sudah menjadi bermasalah dan waktu yang sangat singkat.