I. Pancasila 74 Tahun
Kini usia Pancasila memasuki 74 tahun sejak dilahirkan bersamaan dengan bebasnya Indonesia dari cengkeraman penjajahan yang sangat mengerikan dan menyakitkan dari negara lain. Lahirnya Pancasila sebagai penanda negeri ini merdeka dan memiliki kedaulatan yang absolut diatasnya. Pancasila di yakini, dipercaya dan diterima sebagai dasar negara yang memungkinkan bersatunya bangsa ini dalam tubuh NKRI.
Pancasila sebagai perekat semua anak bangsa yang memiliki keragaman yang sangat luar biasa besarnya. Tidak saja dari sisi suku, agama, bahasa, bahkan juga geografis dan tipikel demografis yang sangat komplit ada di republik yang di pecaya sangat kaya raya.
Bila dilihat usia 74 tahun perjalanan waktu dalam udara kemerdekaan, harusnya kesimpulan yang bisa di rumuskan adalah bahwa bangsa ini tetap bersatu, bersekutu, menjadi kuat karena memiliki dasar dan alat perekat yang sangat kuat dan awet, yang tidak mudah hancur, roboh, robek atau hilang, yaitu Pancasila.
Pancasila sebagai alat perekat dan pemersatu negeri ini hingga mampu melewati usia hingga 74 tahun saat ini, ketika di rayakan peringatannya 1 Juni 2019.
Pertanyaan yang sifatnya reflektif adalah apakah Pancasila masih kuat sebagai alat perekat bangsa ini? Atau seberapa kuat rekatan yang dimiliki Pancasila untuk tetap menyatukan keragaman dari Indonesia saat ini dan kedepan mengingat dinamika perubahan dan perkembangan yang sedang terjadi?
Pertanyaan ini menjadi sangat penting dan relevan dengan situasi yang sedang dihadapi oleh bangsa ini sejak reformasi digulirkan 21 tahun yang silam, ketika Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto tumbang.
Situasi yang dimaksudkan adalah adanya keretakan sosial yang sangat signifikan di tengah-tengah dinamika politik yang sedang menjadi pendorong kuat dinamika yang ada saat ini. Munculnya keinginan untuk mendirikan negara dengan dasar yang berbeda dengan Pancasila sebagai dasari NKRI. Walaupun pada akhirnya pemerintah telah melarang organisasi HTI sebagai gerbong yang akan mengakomodir seluruh gagasan untuk sebuah mimpi bagi negara dengan dasar yang lain.
Akibatnya adalah hilang ketenangan dan kedamaian di tengah-tengah masyarakat dengan munculnya dorongan mempertajam dan membenturkan perbedaan identitas sakral yang dimiliki oleh masyarakat, yaitu agama dan kepercayaan masing-masing. Situasinya semakin menjadi sensitif dan akhirnya masyarakat saling berhadap-hadapan, saling curiga, dan berakhir dengan konflik yang akan merugikan semua orang.
Masyarakat menjadi mudah terprovokasi untuk melakukan kekerasan maupun gangguan-gangguan bagi kehidupan publik yang damai dan tenteram, Karena ujung-ujung dari semua polarisasi yang ada adalah radikalisme dan terorisme yang mencuri semua kedamaian yang harusnya dimiliki oleh semua anggota masyarakat.