Himbauan ataupun usulan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dakiri agar tanggal 1 Mei 2018 ini dirayakan sebagai "fun day" - "May Day is fun day" merupakan gagasan cemerlang dan menarik. Â Sebuah pendekatan menantang agar peringatan hari buruh dilakukan dengan acara yang menarik, menghibur, bergembira, dan menularkan aura dan semangat positive penuh optimisme.
Mengapa menarik, karena usulan ini ditawarkan  ditengah - tengah suasana politik yang mulai bahkan sudah memanas dalam dan menjelang Pileg dan Pilpres kedepan.  Artinya, apapun yang dilakukan seakarang ini, semua terarah pada tujuan kontestasi politik dari berbagai "partai", "faksi" bahkan kelompok-kelompok.
Secara spontan semua orang akan "mencurigai" agenda Menaker ini sebagai bagian dari agenda politik incumbent menjadi caapres pada tahun 2019. Inipun tentu sah-sah saja dan bisa difahami.
Reaksi spontan yang menolak usulan Menteri Hanif Dakiri ini, oleh juru bicara Gerakan Buruh, sudah bisa diduga, walaupun dengan alasan "membelokkana sejarah Hari Buruh itu sendiri".
Mari melihat bagaimana muncul dulu gerakan buruh ini. Secara keseluruhan dan mendasar, munculnyaa Gerakan Buruh adalah sebagai reaksi buruh atas ketidakmanusiaan pihak pengusaha dalam memperlakukan buruh itu. Khususnya jam kerja yang pada awal-awalnya berkisar antara 19 sampai 20 jam kerja setiap hari. Dianggap tidak manusiawi, apalagi tidak diimbangi dengan gaji yang cukup dan fasilitas perlindungan yang memadai.
Sejarah mencatat, bahwa perjuangan itu tidaklah sia-sia dan banyak membawa perubahan dalam hubungan antara buruh dan majikan.  Tapi, apakah urusan selesai ? Masalah tuntas ? Ternyata tidaklah sesederhana itu, karena kemudian pergerakan buruh menjadi sebuah "komoditi" yang dikelola dengan baik sebagai bargaining position para tenaga kerja pada pihak pengusaha. Pergerakan ini dijadikan instrument untuk memperjuangkan setiap  kepentingan buruh. Walaupun tidak lagi seperti mula-mula misinya, tetapi sudah banyak membawa perubahan bagi kehidupan yang lebih baik untuk kepentingan tenaga kerja.
Namun, harus difahami bahwa di berbagai belahan duniapun, peringatan heri buruh internasional tidak lagi melulu untuk mengingat penderitaan buruh saja dimasa lalu, tetapi juga dilakukan untuk merayakan keberhasilan dan kesuksesan yang dicapai oleh perusahaan dan bahkan industri.
Inilah yang menarik, karena dengan merayakan keberhasilan akan menjadi moment untuk menguatkan dan mengokohkan semangat dan motivasi kerja karyawan untuk bekerja setahun kedepan. Jiwanya, merayakan untuk membangun sikap penuh semangat, optimisme dan bekerjasama yang erat dan kuat. Bahwa disana sini, bahwa ada kasus pelemahan buruh, itu pasti. Tetapi, sangat kasuis secara universal.
Itu sebabnya, usulan Hanif Dakiri sangat brilliant. Indonesia tidak boleh lagi terus hidup dalam "kepahitan" masa lalu dengan berhadap-hadapan antara buruh dengan pengusaha, tetapi saatnya untuk duduk bersama mencari solusi agar perusahaan bisa berhasil dan dengan demikian kepentingan dan hak buruhpun akan bisa ditingkatkan.
Era milenial, tidak bisa dihindari, dan tenaga kerja milenial adalah tenaga kerja mandiri yang cenderung mau bekerja msecara mandiri. Era ini harus diantisipasi oleh pengusaha agar perlakukan pada karyawan sebagai partner dan bukan sebagai buruh-majikan.
Memperingati May Day dengan cara "fun day" menjadi instrument yang mempersatukan semangat pekerja dan pengusaha untuk memenangkan persaingan bisnis global yang sekarang sedang merangset masuk bumi nusantara Indonesia ini.