Sebetulnya tidak terlalu tinggi namun tempat ini mampu memberi kesan tersendiri bagi pengunjungnya. Berada di ketinggian 750 MDPL dengan jalan lereng pebukitan yang menanjak dan sudut elevasi menghampiri 70 derajat membuat suasana perjalanan semakin menggairahkan adrenalin. Banyak cerita dari teman2 yang pernah berkunjung disini bahwa perjalanan ke puncak Ahuawali ini bukan disebut sebagai mendaki gunung tapi lebih tepatnya Memanjat. Mungkin terdengar lebay tapi pernyataan teman saya itu cocoknya diamini bagi yang sudah tuing seperti saya ini.
Menepi dari riuh kota menuju di ketinggian alam bebas sembari menikmati awan kabut yang dingin, secangkir kopi hangat dan hijaunya vegetasi ilalang telah menampar -- nampar kesadaranku bahwa ada sesuatu yang lebih indah dibalik kesibukan -- kesibukan yang tak berujung. Suasana malam dengan cahaya bintang yang berpendar dapat dijadikan teman semalam yang menyelimuti kesepianmu. Memang indah bila diresapi, hati yang temaram akan kembali berseri.
Mungkin seperti itu perasaan jika sudah berada di puncak. Saya jadi ingat So Hok Gie aktivis 60 an, dia sadar di puncak gunung banyak memberinya inspirasi, pemikiran baru setelah seharian bergumul dengan aktivitas-aktivitas kirinya di perkotaan. Di puncak dia berkontemplasi dan melahirkan karya baru. Gie bukan sekedar pendaki asalan, dia paham bahwa tingkat kenikmatan akan dapatkan dari seberapa tingginya kamu meraihnya dan puncak pun bukan akhir dari perjalanan, sewaktu-waktu kita pasti pergi mininggalkan itu dengan beban yang berlebih.
Begitulah kura2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H