Mohon tunggu...
yupi andaresta
yupi andaresta Mohon Tunggu... Akuntan - Mengkhayal dan Menulis

Orang kecil di simpang jalan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pasar Tua Dawi-Dawi, Sekolah yang Dirindukan

26 Juli 2020   21:54 Diperbarui: 28 Juli 2020   19:56 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara ramai riuh kini tak terdengar lagi. Tidak seperti biasanya para pedagang ikan, pedagang sayur, penjual kelontong, penjual obat yang berasal dari berbagai penjuru arah berdatangan ketika pagi mulai merangkak diatas loteng.

Aneka suara menggema di pagi buta. Mulai dari Suara tawar menawar, suara bising knalpot motor paggandeng, suara ledakan mesin benno, suara anak parakka barang ke ibu-ibu kompleks yang menenteng banyak belanjaan.

Tidak kalah juga suara lodspeaker penjual obat yang heboh dengan binatang landaknya, semuanya saling deru-menderu membuat minggu pagi semakin ramai bergembira.

Dulunya pasar Dawi-Dawi di bangun atas rasa persaudaraan antara bugis dan makassar yang merantau di tanah merah Pomalaa. 

Sebagian pendatang yang baru tiba dari tanah selatan, membagun rumah darurat di pasar untuk ditinggali sementara hingga mereka menemukan tempat tinggal baru yang tetap.

Di saat itulah mereka mulai berinteraksi saling tukar menukar barang, mengadakan jual beli hingga kemudian berkembang menjadi pasar besar. 

Konon, disitu juga awal Perusahaan Nikel PT. ANTAM Pomalaa melakukan rekrutmen karyawan dengan membuat sayembara bagi yang bisa membaca sila pancasila, bisa diangkat langsung menjadi karyawan. Entah.

Pasar itu sudah tak ada. Simbol kebanggan kami tiba-tiba hilang begitu saja. Kini Pasar itu digeser angkat dari tempatnya, di pindahkan satu kilo meter mengarah ke barat tepat di gerbang laut bay pass yang berdampingan dengan Teluk Bone. Cukup jauh sudah.

Bagi banyak orang, pasar tua itu diibaratkan seperti sekolah yang menghimpun kerumunan dari bermacam profesi dan berharap bisa saling berbagi ilmu dan rejeki. Pasar tua mulai nampak ramai ketika pagi menjelang dan sepi kembali jika sore menyambut.

Sama persis dengan sekolah, banyak pelajaran dan hikmah yang didapat dari situ. Sepertinya Tuhan memang sengaja menyediakan tempat bagi si tua di siang hari, agar kasih sayang rahmatNYA tertumpah dan kami bisa memungutnya di pasar itu.

Sejak tahun 1968 hingga sekarang, sudah terdapat tiga generasi pedagang yang melampauinya. Mulai dari Nenek, anak hingga cucu, turunan ilmu berdagang dan berdiplomat  pasti sudah didapatkan. Kini pasar itu banyak menelorkan sarjana-sarjana pedagang dan diplomat yang handal. 

Jangan diragukan lagi kualitas ilmunya walau secarik kertas berstempel ijasah tidak di lemari, namun teori dan prakteknya sudah khatam di lapangan. Bagi kami anak pasar, jiwa dagang sudah tertanam jauh dihati sebelum kaki ini menginjak bumi. Asal bisa ngitung semua bisa untung.

Mencari uang dengan berdagang, mengangkat barang, memutar tungku besi benno', menjadi pelayan warung bakso, menjadi aheng dan kondektor mobil oplet adalah pelajaran 3 sks berharga yang menjadi rutinitas mingguan si anak pasar.

Ada banyak profesi sementara yang bisa di tekuni untuk mencari kepingan rupiah sekaligus belajar kalau realita dunia itu memang kejam dari idealita khayal. Bukan karna tidak kita tdk di beri uang jajan, melainkan asik saja bagi seorang anak mengikuti arus pasar, semua di bawa santuy..

Oh yaa. Saya juga terkenang di pasar ini pernah ada nama-nama murid penghuni bagi orang bermental bawah (Maaf), seperti Ngerang yang tiap hari mengenakan bidak sarung tanpa celana yang hanya menyukai uang merah Pinishi dibanding uang biru Danau Toba.

Alasannya karena Ngerang tidak mengetahui nominal uang sehingga jika dia berbelanja dengan uang seribuan di penjual yang iseng kalasi, seringkali dia tidak diberi uang kembalian makanya dia lebih memilih uang seratus rupiah yang merah.

Juga Yole, perempuan dengan bedak rica basah di wajahnya, kesehariannya hanya keluyuran berkeliling pasar dari sudut ke sudut ibarat satpam sekolah namun jika seseorang  meminta bantuannya maka dengan tulus ikhlas dia segera datang membantu. 

Juga ada Cadu-cadu periang dengan rambut gimbalnya yang tak pernah disentuh sisir namun siapa sangka ternyata dia penghapal Al Quran.

Dan terakhir, juga ada Saso sang tempramen yang sering membuat kegaduhan disaat orang asik menjual. Kekurangan sedikit saja atas upah angkut yang dia terima bisa berakhir dengan pertengkaran sengit.  

Al fatihah buat mereka, sebab mereka adalah segores warna yang menghiasi kenangan indah di pasar tua. Sepertinya ada yang hilang, semua berakhir jadi sejarah dan kenangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun