Mohon tunggu...
Yuono DwiRaharjo
Yuono DwiRaharjo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Gadjah Mada

Mahasiswa dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada yang suka bermain game dan tertarik dengan isu-isu kekinian psikologi yang dibahas secara ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Media Sosial Memperkuat Fear of Missing Out (FoMO) dalam Hiperrealitas: Temuan Menarik dalam Perilaku Konsumtif

6 Oktober 2023   19:22 Diperbarui: 6 Oktober 2023   19:24 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber ghttps://www.freepik.com/

Media sosial menjadi kebutuhan utama bagi manusia. Terlebih lagi sejak adanya efek pandemi Covid-19, keberadaan media sosial dalam penggunaannya menjadi cukup beragam. Manusia berlomba-lomba untuk mengikuti trend yang ada. Keberadaan influencer menjadi salah satu faktor bertambahnya aktivitas manusia ke dalam pola trend media sosial di Indonesia (Anjani dan Irwansyah, 2020). Berdasarkan survei internet Indonesia yang dilakukan APJII (2022), terdapat 77,02% tingkat penetrasi internet dalam kurun waktu 2021-2022 yang mana meningkat dari jumlah kurun waktu 2019-2020, yaitu 73,70%. Dari persentase penetrasi tersebut, terdapat 98,02% penggunaan internet digunakan untuk mengakses media sosial. Besarnya jumlah keaktifan manusia pada media sosial memiliki suatu relasi yang tak terpisahkan. Hal ini dibuktikan melalui laporan Digital 2022 yang tercatat bahwa para pengguna media sosial Indonesia menghabiskan waktu rata-rata 3 jam 17 menit per hari (Kemp, 2022). 

Kondisi tersebut menjadi salah satu pola perilaku hiperrealitas yang dikemukakan Jean Baudrillard yang merupakan keadaan ketika tidak adanya batasan antara dunia nyata dan dunia semu. Dalam hiperrealitas ini, dunia modern adalah representasi dari objek atau peristiwa yang seringkali lebih kuat daripada objek atau peristiwa itu sendiri (Saumantri dan Zikrillah, 2020). Melalui ketiadaan batasan antara dunia nyata dan semu menjadikan manusia tanpa sadar terlibat ke dalam sebuah fenomena tren perilaku konsumtif yang tanpa disadari oleh diri pribadi (Hidayat et al., 2017). Pada dasarnya perilaku konsumtif merupakan pola tingkah laku yang dilaksanakan masyarakat dalam usaha memuaskan nafsu pribadi. Namun, di era saat ini perilaku konsumtif timbul akibat adanya pengaruh yang berasal dari luar diri pribadi, media sosial menjadi salah satu alasan kemunculan tingkah laku konsumtif. Keterlibatan tersebut dilandasi dengan adanya perasaan Fear of Missing Out (FoMO) atau perasaan tidak ingin tertinggal yang merupakan salah satu kondisi hiperrealitas yang muncul karena penggunaan media digital secara berlebihan dalam masyarakat (Sulastri dan Sylvia, 2022).

 Perasaan FoMO dari media sosial dapat berasal dari iklan menggoda yang sering muncul, personalisasi rekomendasi, kemudahan pembayaran, dan frekuensi penggunaan media sosial sehingga dapat membuat orang tersebut merasa tidak ingin tertinggal dengan yang lain (Rachmadhani, 2022). Fear of Missing Out dalam media sosial menghadirkan kepuasan dalam kebutuhan hidup, menciptakan suasana yang baik (mood), dan menghadirkan kepuasan hidup yang rendah dalam kehidupan nyata (Przybylski et al, 2013). Salah satu contoh nyata adanya keterlibatan perilaku konsumtif masyarakat adalah dengan hadirnya berbagai platform jual beli pada era saat ini. Platform jual beli menjadikan ketiadaan batasan nyata dan semu pada manusia sehingga perilaku konsumtif dan perasaan Fear of Missing Out muncul dengan sendirinya. Dengan ini dapat dikatakan bahwa strategi yang tepat diperlukan dalam menanggulangi perasaan FoMo sebagai akibat dari hiperrealitas. Perasaan FoMO yang menimbulkan perilaku konsumtif masyarakat Indonesia perlu ditinjau lebih dalam untuk menentukan strategi yang sesuai dengan pola masyarakat Indonesia sendiri agar masyarakat dapat lebih mengontrol perilaku konsumsi yang lebih bertanggung.

Partisipan penelitian ini adalah masyarakat domisili Yogyakarta yang berusia 17-35 tahun dengan keaktifan bermain media sosial. Masyarakat dengan rentang usia 17-35 tahun memiliki intensitas bermain media sosial lebih panjang daripada rentan usia lain. Selain itu, kriteria khusus dari partisipan penelitian ini merupakan individu dengan tingkat penggunaan sosial media lebih dari dua jam. Hal ini sesuai dengan rerata lama penggunaan sosial media masyarakat Indonesia pada tahun 2023 sebesar tiga jam delapan belas menit (We Are Social, 2023). Pengumpulan partisipan dilaksanakan melalui dua tahapan, yakni pengumpulan data kuantitatif yang menggunakan kuesioner google form pada minggu ke-4 bulan Juli dan minggu ke-1 Agustus melalui penyebaran kuesioner secara daring. Tahapan kedua dilaksanakan pada minggu ke-3 dan minggu ke-4 bulan Agustus sebagai bentuk pengumpulan data kualitatif. Hal ini digunakan untuk mendapatkan argumentasi serta validitas mendalam atas jawaban kuesioner penelitian yang diberikan. Selanjutnya, data kuantitatif dianalisis menggunakananalisis regresi mediasi dan data kualitatatif menggunakan analisis tematik.

Hasil estimate plot dari softwere Jamovi, dokpri
Hasil estimate plot dari softwere Jamovi, dokpri
Data kuantitatif dengan 89 sampel diolah terlebih dahulu dengan analisis regresi mediasi yang menunjukkan adanya pengaruh signifikan melalui indirect effect dan total effect, sedangkan direct effect tidak berpengaruh secara signifikan (lampiran 3.2). Indirect effect menunjukkan nilai confidence interval yang tidak melewati 0,0 serta keseluruhan positif sehingga hiperrealitas berpengaruh terhadap FoMO yang selanjutnya berpengaruh terhadap perilaku konsumtif. Total effect menunjukkan nilai confidence interval yang tidak melewati 0,0 serta keseluruhan positif pula sehingga hiperrealitas berpengaruh terhadap perilaku konsumtif dengan adanya FoMO sebagai mediator. Direct effect menunjukkan adanya nilai confidence interval yang melewati 0,0 sehingga hiperrealitas tidak signifikan berpengaruh terhadap konsumtif secara langsung. Peran penting FoMO yang dapat menimbulkan perilaku konsumtif ini sejalan dengan riset Afdillah et al. (2020) yang memiliki hasil bahwa FoMO berpengaruh secara positif terhadap perilaku konsumtif. Pengaruh signifikan tersebut ditinjau melalui tiga aspek yang digunakan dalam pendekatan kualitatif, yaitu FoMO berdasarkan Hiperrealitas, Konsumtif berdasarkan FoMO, dan Perilaku Konsumtif berdasarkan Hiperrealitas. Lima partisipan kualitatif (A, C, D, E, dan K) diambil berdasarkan persebaran usia dan skor sebagai wakil sampel data kuantitatif untuk menemukan faktor pengaruh hiperrealitas terhadap FoMO dan pengaruh FoMO terhadap perilaku konsumtif masyarakat.

Analisis data kualitatif menunjukkan bahwa para partisipan, terutama A, D, C, dan E, menunjukkan tanda-tanda Fear of Missing Out (FoMO) dalam konteks hiperrealitas, karena mereka mengalami emosi negatif seperti frustrasi dan ketakutan untuk ketinggalan informasi berharga saat secara intensif menggunakan media sosial untuk mencari informasi. Ditambah lagi, penelitian ini menunjukkan bahwa perasaan Fear of Missing Out (FoMO) dalam penggunaan media sosial dapat memengaruhi perilaku konsumtif individu, dengan perbedaan dalam kecenderungan FoMO dan perilaku konsumtif yang terkait dengan rentang usia, dan regulasi yang sesuai dengan tahapan kehidupan individu dapat membantu mengatasi dampak negatif dari FoMO dan perilaku konsumtif dalam upaya menciptakan masyarakat yang seimbang dan berkelanjutan.  Regulasi terhadap perilaku konsumtif yang dipengaruhi oleh Fear of Missing Out (FoMO) lebih berfokus pada aspek kontrol psikologis positif dengan tujuan mendorong pemikiran positif dalam kehidupan individu, meskipun penelitian ini memiliki keterbatasan yang perlu dipertimbangkan dalam penelitian selanjutnya, seperti jumlah dan lokasi partisipan, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan status pernikahan subjek yang akan diteliti.

Kesimpulanya, dalam era digital yang semakin berkembang individu seringkali merasakan dampak dari hiperrealitas yang diciptakan oleh dunia maya. Fenomena tersebut memicu perasaan kesal, gelisah, dan FoMO (Fear of Missing Out),  yakni perasaan ketika seseorang merasa terus-menerus perlu untuk terhubung dengan berbagai informasi dan interaksi di media sosial. Penggunaan media sosial yang berlebihan menjadi penyebab utama perasaan Fear of Missing out (FoMO) karena masyarakat merasa tidak mengejar standar kehidupan yang  diperlihatkan oleh orang lain. Hal ini dapat merangsang ketidakpercayaan diri, membuat individu cenderung ingin menutupi perasaan kekurangan mereka dengan perilaku konsumtif, seperti berbelanja berlebihan atau mengejar gaya hidup yang tidak sesuai dengan kemampuan finansial mereka. Akibatnya, masyarakat dapat terjebak dalam siklus yang tidak sehat dari tekanan sosial dan keuangan, yang perlu diwaspadai agar dapat menjaga keseimbangan antara dunia maya dan realitas sehari-hari mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun