Mohon tunggu...
Muh. Fitra Ramadhan
Muh. Fitra Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

futsal

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Tentang kekerasan Seksual Terhadap 13 Santriwati Dan pidana mati bagi pelaku

7 Januari 2025   15:24 Diperbarui: 7 Januari 2025   15:24 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kekerasan dalam bentuk apapun, termasuk kekerasan verbal, memiliki dampak yang merugikan bagi korban, baik secara fisik maupun psikologis. Salah satu kelompok yang rentan terhadap kekerasan verbal adalah anak-anak, termasuk anak disabilitas. Artikel ini bertujuan untuk membahas tentang kekerasan verbal, perlindungan hukum bagi anak disabilitas, serta dampak psikologis yang mereka alami, dengan merujuk pada kasus kekerasan seksual terhadap 13 santriwati yang berujung pada pidana mati bagi pelaku.

Kekerasan verbal adalah tindakan yang menggunakan kata-kata untuk menyakiti, merendahkan, atau menghina seseorang. Bentuk kekerasan ini dapat berupa penghinaan, ancaman, atau ucapan kasar yang ditujukan untuk merusak harga diri korban. Kekerasan verbal seringkali dianggap lebih ringan dibandingkan kekerasan fisik, namun dampaknya terhadap mental dan emosional korban bisa sangat besar.

Kekerasan verbal bisa terjadi dalam berbagai bentuk, dengan pelaku yang bisa berasal dari siapa saja, mulai dari keluarga, teman, rekan kerja, hingga orang asing. Kejadian ini bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, baik di rumah, di sekolah, di tempat kerja, atau bahkan di media sosial. Penyebab kekerasan verbal bisa sangat bervariasi, mulai dari frustrasi pribadi, ketidaksukaan, atau ketidakmampuan mengelola emosi. Kekerasan verbal dilakukan dengan menyampaikan kata-kata yang menyakitkan atau merendahkan harga diri korban, baik secara langsung maupun melalui pesan tertulis.

Anak-anak disabilitas, baik fisik maupun mental, seringkali menghadapi stigma dan diskriminasi dalam masyarakat. Mereka dianggap tidak mampu berfungsi secara normal dalam kehidupan sosial dan pendidikan. Padahal, anak-anak disabilitas berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang dan berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan dukungan yang tepat dari keluarga, masyarakat, dan pemerintah, anak disabilitas memiliki potensi untuk mencapai keberhasilan dalam banyak bidang, baik akademik, seni, olahraga, dan lain-lain.

Penyandang disabilitas, termasuk anak-anak, sering kali dianggap sebelah mata atau kurang dihargai. Hal ini terjadi karena stereotip yang berkembang di masyarakat tentang ketidakmampuan mereka. Banyak orang yang beranggapan bahwa anak disabilitas tidak dapat berprestasi atau berkontribusi seperti anak-anak pada umumnya. Padahal, banyak anak disabilitas yang mampu menunjukkan bakat luar biasa jika diberikan kesempatan dan akses yang setara.

Di Indonesia, terdapat Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang bertujuan untuk melindungi hak-hak penyandang disabilitas, termasuk anak-anak. Undang-Undang ini mengatur hak anak disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan perlindungan hukum dari diskriminasi dan kekerasan. Ini menunjukkan bahwa negara mengakui pentingnya memberikan perlindungan kepada anak disabilitas agar mereka dapat hidup dengan martabat yang sama dengan anak-anak lainnya.

Anak disabilitas, terutama yang mengalami diskriminasi atau kekerasan, sering kali mengalami dampak psikologis yang serius. Rasa rendah diri, kecemasan, dan depresi adalah beberapa dampak psikologis yang sering terjadi. Mereka mungkin merasa terisolasi, tidak diterima, atau tidak dihargai oleh lingkungan sekitar. Untuk itu, penting bagi keluarga, masyarakat, dan pihak berwenang untuk memberikan dukungan emosional dan sosial agar anak disabilitas dapat merasa diterima dan dihargai.

Kekerasan verbal dapat memberikan dampak psikologis yang mendalam bagi korban, baik anak-anak maupun orang dewasa. Dalam hal ini, hukum di Indonesia sudah memiliki aturan untuk melindungi individu dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan verbal. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, misalnya, memberikan dasar hukum bagi perlindungan korban kekerasan, termasuk kekerasan verbal.

Namun, efektivitas hukum dalam menangani kekerasan verbal masih sering dipertanyakan. Banyak korban kekerasan verbal yang merasa tidak mendapatkan perlindungan yang cukup, terutama karena sulitnya pembuktian dalam kasus-kasus verbal. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk lebih sadar akan pentingnya melaporkan kekerasan verbal dan memberikan dukungan kepada korban.

Orangtua memegang peran yang sangat penting dalam mencegah kekerasan, baik verbal maupun fisik, terhadap anak-anak mereka, termasuk anak disabilitas. Orangtua harus mengajarkan nilai-nilai empati, menghargai perbedaan, serta bagaimana berkomunikasi dengan cara yang baik dan positif. Selain itu, masyarakat juga perlu memberikan dukungan yang inklusif, menciptakan lingkungan yang ramah bagi anak-anak disabilitas, dan mengedukasi diri tentang pentingnya menghargai setiap individu.

Kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap 13 santriwati adalah contoh mengerikan dari kekerasan yang sangat merusak fisik dan psikologis korban. Dalam kasus ini, hukuman pidana mati bagi pelaku mungkin dianggap sebagai salah satu bentuk keadilan. Namun, fokus utama harus tetap pada upaya mencegah kekerasan tersebut melalui pendidikan, kesadaran hukum, dan perlindungan yang lebih baik bagi anak-anak, terutama anak disabilitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun