Mohon tunggu...
muhammad yunus
muhammad yunus Mohon Tunggu... -

advokat pada Yunus&mitra, Bandarlampung.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Catatan Eksaminasi Publik Putusan Bebas Terdakwa Perkara Korupsi

26 Desember 2011   11:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:44 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prolog

Senin (17/10/2011), suasana di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Tanjungkarang tampak ramai. Siang itu, Majelis Hakim akan membacakan putusan atas nama terdakwa Hi. Satono, S.H., SP., Bupati non aktif Kabupaten Lampung Timur yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Satono diadili karena diduga menyalahgunakan kewenangannya sebagai bupati sehubungan dengan penempatan Kas Daerah di BPR Tripanca sejumlah + 108 milyar rupiah. Sebelumnya, Satono dituntut Jaksa Penuntut Umum dengan pidana penjara 12 (dua belas) tahun dan denda sebesar 500 juta rupiah serta membayar uang pengganti sebesar 10,5 milyar.

Saat menjelang akhir pembacaan putusan oleh Majelis Hakim, beberapa pengunjung sidang mulai mafhum bahwa Satono akan diputus bebas. Hal ini terjadi karena disaat Majelis Hakim membacakan berbagai pertimbangan dalam putusan, arah dari pertimbangan tersebut lebih banyak meringankan terdakwa. Beberapa pengunjung makin yakin Satono akan diputus bebas, adalah ketika Majelis Hakim mulai mengurai unsur-unsur tindak pidana yang dituduhkan pada terdakwa: unsur pidana yang dituduhkan tersebut, menurut penilaian Majelis Hakim tidaklah terpenuhi. Dan benarlah dugaan para pengunjung itu, akhirnya Satono diputus bebas oleh Majelis Hakim.

Atas putusan bebas tersebut, Tim Jaksa Penuntut Umum seperti terlihat sangat kecewa. Mereka menyatakan telah berusaha dengan sangat maksimal untukmenunjukkan sebuah fakta bahwa Satono bersalah dan patut menerima ganjaran atas kesalahannya tersebut. Namun apa daya, tampaknya palu hakim tak berpihak pada Jaksa Penuntut Umum. Hal berbeda terlihat pada raut wajah para Penasehat Hukum Terdakwa, binar mata mereka seperti menggambarkan perasaan gembira tiada tara. Dan terdakwa, tampak bersyukur dengan berurai air mata.

Layaknya sebuah pertunjukan lakon drama, respon masyarakat atas putusan bebas Satono amatlah beragam. Ada yang riang, ada yang gamang. Namun banyak pula yang tak ambil pusing; entah karena asing terhadap persoalan hukum, atau karena lebih fokus pada beban hidup yang semakin berat. Tapi yang jelas, Kas Daerah Kabupaten Lampung Timur sejumlah + 108 milyar rupiah, sampai saat ini tak jelas dimana rimbanya. Bila Satono dianggap Majelis Hakim tidak memiliki andil tanggung jawab atas “hilang”nya uang dimaksud, lalu siapakah yang semestinya memiliki beban tanggung jawab atas hilangnya uang itu?.

Pemberantasan Korupsi sebagai Semangat Zaman (zeitgeist)?

Seperti juga bidang kehidupan di ranah lain, perkembangan pemikiran dan prilaku pada ranah hukum pun selalu dipengaruhi oleh semangat zaman (zeitgeist).Semangat zaman dalam konteks politik dan penegakan hukum di Indonesia, sejak merambahnya gerakan reformasi 1998 sampai saat ini, adalah demokratisasi dan pemberantasan korupsi. Dua isu strategis itu secara lambat laun sepertinya mulai mengejawantah dalam proses politik dan penegakan hukum dinegeri yang gemah ripah loh jinawi ini.

Proses demokratisasi dan upaya pemberantasan korupsi pada dasarnya merupakan dua isu yang saling mempengaruhi. Demokrasi yang berkualitas tak mungkin hadir tanpa adanya komitmen untuk pemberantasan korupsi yang dilakukan secara konsisten, pun sebaliknya. Demokrasi yang berkualitas ditandai dengan terwujudnya good governance yang menyaratkan adanya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Ketiga persyaratan ini pun harus dihadirkan bila kita ingin adanya penegakan hukum yang berkualitas.

Sebagai semangat zaman yang kita namai reformasi, upaya pemberantasan korupsi dimulai ketika pada tahun awal reformasi diterbitkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang selanjutnya ditambah dan diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berikutnya, pada bulan Agustus 2002, diselenggarakanlah sebuah lokakarya tentang persiapan pembetukanKomisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Dalam lokakarya tersebut merekomendasikan dibentuknya sebuah badan anti korupsi sebagai salah satu strategi pemberantasan korupsi nasional. Selain itu, direkomendasikan juga adanya lembaga yang memiliki kewenangan menerima dan menelaah laporan dari harta kekayaan para pejabat dan penyelenggara Negara.

Sebelum terwujudnya Badan Anti Korupsi yang bersifat permanen, pemerintah RI sempat membentuk sebuah tim yang bernama Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). TGPTPK ini pernah mengusulkan agar pemerintah mengeluarkan semacam dekrit yang substansinya menyatakan bahwa Indonesia dalam keadaan darurat perang, yakni perang melawan korupsi.

Tahun 2003, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk. Komisi ini didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sesuai UU No. 30 Tahun 2002, KPK mempunyai tugas;


  1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
  4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
  5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Seakan tak cukup dengan hadirnya KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini, pada tahun 2009 diterbitkanlah UU Nomor 46 tentang Pengadilan tindak pidana korupsi. Sebelumnya, pemerintah RI juga telah meratifikasi konvensi PBB tentang pemberantasan korupsi (United Nations Convention Agains Corruption-2003). Dari berbagai langkah dan kebijakan perihal pemberantasan korupsi pada perikehidupan di negeri ini, maka secara simplisit dapatlah dimaknai bahwa pemberantasan korupsi seakan benar-benar telah menjadi semangat zaman kita saat ini, di negeri yang kita cintai ini.

Namun, pada tataran implementasi, proses penegakan hukum dalam kerangka pemberantasan korupsi di Indonesia, tampaknya tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi sebagian besar penggiat antikorupsi dan masyarakat. Menurut data yang dirilisTransparansi Internasional pada tahun 2010 dari hasil survey 178 negara, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mendapat nilai indeks 2,8 dari nilai indeks maksimal 10 dan berada pada urutan ke-110 dari 178 negara. Dari data tersebut, dapat digambarkan bahwa secara faktual pemberantasan korupsi di Indonesia belumlah menunjukkan tanda-tanda ke arah yang lebih baik. Bahkan beberapa kalangan menilai, upaya pemberantasan korupsi di negeri ini semakin hari semakin tak jelas arahnya. Beberapa indikasi yang dirujuk oleh kalangan tersebut adalah makin maraknya putusan bebas bagi perkara korupsi, termasuk putusan bebas yang dilakukan oleh Pengadilan Tipikor.

Berdasar fakta makin semaraknya putusan bebas untuk perkara korupsi di berbagai daerah, maka dapat dimaknai bahwa majelis hakim yang memutus bebas tersebut tidaklah responsif terhadap semangat zaman. Terlepas dari alasan teknis yuridis dari putusan tersebut, secara sosiologis putusan tersebut tentulah menciderai rasa keadilan masyarakat. Putusan bebas Satono misalnya, bila dana Kas APBD Kabupaten Lampung Timur sejumlah + 108 milyar tersebut digunakan untuk mendukung kegiatan pendidikan, sudah berapa banyak sekolah yang bisa dibangun dengan dana tersebut. Untuk konteks itu, sungguh naas penegakan hukum negeri ini: Dana Kas APBD telah raib, yang bertanggungjawab atas dana tersebut pun diraibkan.

Urgensi Penerapan Hukum Progresif

Dilatari berbagai fakta negatif atas penegakan hukum terhadap perkara korupsi di Indonesia, sepertinya diperlukan semacam reideologisasi terhadap cara pandang penegak hukum dalam menerapkan hukum. Positivisme, sebagai konsep dasarbagi landasan berpikir sebagian besar pembuat keputusan dan para penegak hukum di Negara ini, sudah selayaknya harus terus dikritisi. Positivisme hukum, secara sederhana dapat diartikan bahwa tindakan atau prilaku yang disebut adil atau tidak, sepenuhnya bergantung pada peraturan atau hukum yang berlaku. Cara pandang ini tentulah abai terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadidi masyarakat: karena positivisme hukum bersandar pada teks hukum (peraturan perundang-undangan dan sejenisnya) yang bersifat statis, sedang masyarakat pastinya bersifat dinamis dalam artian selalu terus berkembang dan berubah.

Dalam konteks tersebut, maka cara pandang hukum progresif menemukan relevansinya. Hukum progresif, sebagaimana yang diungkap oleh Prof. Satjipto Raharjo dalam artikelnya yang berjudul Hukum Progresif: Aksi, bukan teks, menyebutkan bahwa hukum progresif adalah sebuah konsep mengenai cara berhukum yang bersifat non-linear, oleh karena adanya faktor aksi dan usaha manusia yang terlibat di dalamnya; keterlibatan manusia ini menyebabkan cara berhukum tidak melulu berkaitan dengan mengeja teks, melainkan penuh dengan kreatifitas dan pilihan-pilihan. Lebih lanjut disebutkan, bahwa filsafat yang melatari hukum progresif bukanlah “hukum untuk hukum” sebagaimana yang dimaknai oleh kaum positivis, tetapi adalah “hukum untuk manusia”. Hukum tidak sepenuhnya otonom, melainkan senantiasa dilihat dan dinilai dari koherensinya dengan manusia dan kemanusiaan, serta kondisi masyarakat yang menaunginya.

Dalam kesempatan lain, sebagaimana yang diungkap oleh Shidarta dalam tulisannya yang berjudul Posisi Pemikiran Hukum Progresifdalam Konfigurasi aliran-aliran Filsafat Hukum, Prof. Satjipto Raharjo menyatakan bahwa kata kunci dari hukum progresif adalah:


  1. Hukum progresif itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum;
  2. Hukum progresif harus pro-rakyat dan pro-keadilan;
  3. Hukum progresif bertujuan mengantarkan manusia menuju kesejahteraan dan kebahagiaan;
  4. Hukum progresif selalu dalam proses “menjadi” (law as a process, law in the making);
  5. Hukum progresif selalu menekankan pada hidup baik sebagai dasar hukum yang baik;
  6. Hukum progresif memiliki tipe responsive;
  7. Hukum progresif mendorong peran publik;
  8. Hukum progresif membangun Negara hukum yang berhati nurani;
  9. Hukum progresif dijalankan dengan kecerdasan spiritual; dan
  10. Hukum progresif itu merobohkan, mengganti, dan membebaskan.

Dalam kaitannya dengan korupsi di Indonesia yang telah menjurus pada korupsi sistemik, dimana prilaku korup telah menjadi penyakit yang hampir menjangkiti setiap individu yang ada dalam sistem pemerintahan, maka penegakan hukum secara progresif adalah salah satu obat penawar yang perlu terus dikaji dan diterapkan. Korupsi sebagai kejahatan luar biasa, selayaknya ditangani pula dengan cara yang luar biasa. Lembaga peradilan sebagai benteng terakhir bagi upaya pemberantasan korupsi, sewajarnya memiliki hakim-hakim yang berpikir progresif. Untuk perkara korupsi, hakim semestinya tidak lagi hanya bersandar pada teks formal semata, tetapi juga selalu menimbang kemanfaatan dan rasa keadilan masyarakat. Teks hukum formal ditangan hakim yang progresif hanyalah dijadikan semacam panduan, dan bukanlah satu-satunya alat untuk mengambil putusan.

Dalam memeriksa dan mengadili perkara korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa, maka hakim pun wajib berpikir secara luar biasa: yaitu, sebagaimana yang dinyatakan oleh Drs. M. Amin, S.H., M.H. dalam artikelnya di harian Waspada Medan (6/7/2011),sebuah cara berpikir progresif yang berani membebaskan diri dari keterikatan dengan kalimat-kalimat yang tersusun dalam suatu aturan undang-undang. Aturan undang-undang itu hanya sebagai panduan, selanjutnya ia berpikir secara mendalam untuk mencari makna yang substantive. Tidak semata logika peraturan, logika kepatutan sosial dan logika keadilan selalu dijadikan dasar pertimbangan dalam memutus perkara korupsi. Untuk perkara korupsi, kita sungguh membutuhkan para penegak hukum yang berpikir progresif. Seorang belanda bernama Taverne terkenal dengan kata-katanya yang berbunyi: “berikan kepada saya hakim dan jaksa yang baik, maka dengan peraturan yang buruk pun saya bias membuat putusan yang baik”. Kata-kata Taverne tersebut seakan ingin mengabarkan kepada kita: bahwa peraturan yang baik dan sempurna sekalipun, jika penerapannya dilakukan oleh orang yang bermental buruk, maka hasilnya pun akan buruk dan mengecewakan begitu banyak pihak.

Eksaminasi publik atas putusan hakim

Dalam kerangka hukum progresif

Secara istilah, eksaminasi berasal dari bahasa inggris examination yang berarti ujian atau pemeriksaan. Apabila dihubungkan dengan konteksproduk peradilan, maka eksaminasi memiliki makna melakukan pengujian terhadap terhadap surat dakwaan (jaksa) atau putusan pengadilan. Eksaminasi juga sering disebut sebagai legal annotation yaitu pemberian pemberian catatan-catatan hukum terhadap dakwaan jaksa maupun putusan pengadilan. Esensi dari eksaminasi yang dilakukan oleh publik adalah untuk menelaah suatu dakwaan atau putusan apakah telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum. Apakah dakwaan atau putusan telah sesuai dengan prosedur hukum acara, serta apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat.

Eksaminasi publik menjadi penting karena mengambil posisi sebagai social control atas prilaku para penegak hukum, terutama pada lingkup lembaga peradilan. Selain itu, sebagaimana cara pandang hukum progresif, eksaminasi publik bisa menjadi wahana untuk menguji dan menilai apakah sebuah putusan telah pro-rakyat dan berhati-nurani serta merangkum tiga pilar tujuan hukum, yaitu: kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Bagi kalangan awam, menjalankan fungsi social control dalam proses penegakan hukum di lingkup peradilan, bukanlah hal yang mudah. Terutama bila hendak melakukan penilaian tentang apakah putusan pengadilan telah sesuai dengan standar profesionalitas hakim. Oleh karenanya, diperlukan keterlibatan aktif dari para akademisi dalam proses melakukan eksaminasi publik atas produk peradilan. Produk ilmiah (eksaminasi) yang dihasilkan oleh para akademisi inilah yang nantinya dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur standar profesionalitas jaksa maupun hakim.

Eksaminasi publik lahir karena adanya ketidak-puasan dari masyarakat atas produk peradilan (dakwaan dan putusan) yang dinilai buruk. Dakwaan atau putusan buruk itu telah menimbulkan prasangka buruk dari masyarakat terhadap setiap instrument penegak hukum yang terhubung di lembaga peradilan.Dalam sebuah tulisan yang berjudul Eksaminasi Publik sebagai Manifestasi Kekuatan Otonomi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Hukum, Prof. Satjipto Raharjo menguraikan bahwa dalam sebuah lembaga peradilan yang bersifat legal-formalistik akan pula melahirkan suatu produk yang bersifat formal dan sangat procedural. Sifat formal dan procedural itu tentulah akan memiliki pertentangan dalam masyarakat yang bersifat kompleks dan otonom. Atas pertentangan tersebut, masyarakat sebagai kekuatan otonom, pada kelanjutan membangun sistemnya sendiri untuk menilai suatu produk yang lahir dari “kekuasaan kehakiman” yang sangat legal-formalistik; dan eksaminasi publik merupakan salah satu bentuk dari wujud kekuatan otonom masyarakat tersebut.

Dari pendapat di atas, secara tersirat dapat diartikan bahwa eksaminasi publik lahir karena adanya muatan yang cukup besar perihal tujuan hukum itu sendiri, yaitu: hukum pada hakikat tidak hanya melindungi individu/perseorangan. Tapi lebih dari itu, hukum semestinya melindungi kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan masyarakat.

Sehubungan dengan adanya eksaminasi publik atas putusan perkara korupsi, hal ini pada dasarnya merupakan bentuk dari respon masyarakat untuk melihat sejauh mana persepsi lembaga peradilan dalam menangani suatu kejahatan yang bersifat luar biasa. Korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), menurut Prof. Satjipto Raharjo, telah menyusup ke hampir semua sendi kehidupan kita. Jika kita jujur dengan anggapan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa, maka untuk menghadapinya tentulah dengan cara-cara yang luar biasa pula (extra ordinary measures): termasuk didalamnya menemukan asas penegakan hukum sendiri daripada tetap terjebak pada aturan yang bersifat legal-formalistik. Penegakan hukum melawan korupsi jangan sampai gagal hanya karena kita terjebak pada konsepsi keadilan yang bersifat procedural, sehingga abai terhadap keadilan substansial.

Selanjutnya, Prof. Satjipto Raharjo juga menyatakan: kegiatan eksaminasi publik sebagai bagian dari studi hukum kritis dan partisipasi publik terhadap hukum, memiliki landasan ilmiah dan teoritis yang cukup kuat, oleh karena itu berada dalam jalur yang benar. Studi hukum kritis di Indonesia memiliki dimensi yang cukup kuat apabila dihubungkan dengan keterpurukan bangsa ini akibat prilaku korup para penyelenggara Negara. Eksaminasi publik sebagai bagian dari studi hukum kritis, pada hakikatnya memiliki mission sacree untuk membantu bangsa ini keluar dari keterpurukan tersebut. Mentradisikan eksaminasi publik terhadap putusan bebas perkara korupsi, diharapkan mampu mengajukan pemikiran kritis dan aksi alternative dalam mengimbangi proses penegakan hukum yang penuh masalah. Kita memang membutuhkan suatu “semangat” baru dalam menjalankan dan menegakkan hukum di Indonesia.

Epilog

Putusan bebas majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang atas perkara korupsi dengan terdakwa Hi. Satono, S.H., S.P., bukan hanya berhubungan dengan tidak adanya pemidanaan terhadap terdakwa pelaku korupsi, tetapi juga menyangkut tidak adanya sensitifitas hakim terhadap semangat zaman dan rasa keadilan di masyarakat. Memang putusan bebas tidak haram dalam kaitannya dengan norma hukum yang ada, namun bila dihubungkan dengan kecenderungan perlakuan istimewa para hamba hukum terhadap para pelaku korupsi kelas kakap, maka hal ini tentunya sangat menciderai proses penegakan hukum dan keadilan.

Sejak mula perkara Satono digulirkan, perlakuan istimewa terhadap dirinya memang sudah berjalan. Mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan pengadilan; tidak satu pun para hamba hukum yang terlibat dalam proses tersebut menggunakan hak subyektifnya untuk melakukan penahanan terhadap diri terdakwa. Bahkan penyidikan sempat dihentikan sementara waktu, untuk memberikan kesempatan kepada tersangka mengikuti proses pemilihan kepala daerah. Sungguh, dalam kaitannya dengan proses penanganan perkara Satono, kita tidak melihat adanya cara pandang dari penyidik, jaksa, maupun hakim perihal korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa. Untuk kasus ini, proses penegakan hukum seperti sedang mempertontonkan sebuah ironi. Puncak dari ironi tersebut, terjadi saat Majelis Hakim memutus bebas murni (vrijpraak) atas diri terdakwa.

Berdasar fakta di atas, eksaminasi publik terhadap putusan bebas tersebut menjadi sesuatu yang cukup penting. Eksaminasi dilakukan bulanlah untuk mencari-cari kesalahan majelis hakim, namun lebih ditujukan untuk menelaah secara kritis perihal pertimbangan-pertimbangan majelis hakim dalam putusannya. Eksaminasi semakin dibutuhkan ketika kita membaca hasil penelitian ICW (Kompas, 6/10) terhadap maraknya putusan bebas atas terdakwa korupsi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada perode 1 Januari 2010 hingga 10 Juli 2010 sebanyak 54,82 persen terdakwa kasus korupsi dibebaskan Pengadilan Umum. Semoga dengan tradisi eksaminasi putusan pengadilan, bisa mendorong para hakim untuk lebih taat asas, profesional, dan berdedikasi secara penuh dalam menegakkan keadilan yang berdasar pada ketuhanan dan kemanusiaan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun