Mohon tunggu...
Waliyunu Heriman
Waliyunu Heriman Mohon Tunggu... -

sambung rasa sambung cinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Sol (Se)patu...!"

11 Mei 2011   11:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:50 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Teriakan yang satu ini kadang sangat saya nantikan, “Sol sepatu!” atau hanya, “Sol patu!”.Susah-susah gampang memang di datangi Si Mamang atauPak De yang biasanya kelilingsambil membawa kotak kayu berisi bahan dan alat prakteknya. Apalagi di Malinau (Kaltim) kota kecil yang dari Jakarta harus ditempuh lewat darat, udara, dan air. Tapi ternyata ada juga. NamanyaMugiono atau biasa dipanggil Pak De Mugi. Wong Pasuruan yang ngaku bertetangga dengan Inul Daratista ini telah 5tahun berprofesi sebagai tukang solplus semir sepatu/sandal.

Cerita Pak De, dulu tiap hari berkeliling. Tapi belakangan 2 tahun terakhir ini hanya seminggu 2 kali, yaitu pada hari yang jatuh pada hitungan legi dan pahing. Selama 2, 5 tahun saya tinggal di Malinau, sejak akhir 2008 sampai sekarang, hanya 3 kali meminta jasa Pak De. Pertama, saat sepatu kulit saya buatan Cibaduyut jebol bagian sampingnya. Memang sudah cukup lama saya pakai. Setahun lebih, mungkin. Tapi karena berbagai alasan, antara lain model, bentuk, dan tentu saja ukurannya pas terus karena itu merupakan sepatu yang sengaja dibeli sebagai ‘modal’ merantau ke Kalimantan (ceritanya) sepatu itu jadi kameumeut alias sepatu kesayangan saya. Jebolnya pun sedikit saja. Tapi ya itu tadi karena kameumeut saya takut jebolnya tambah parah yang akhirnya selesai.

Kesan pertama saya waktu itu, Pak De menyenangkan. Pandai bercerita dan banyak bercanda. Salah satunya soal Inul Daratista yang dibilangnya bertetangga. Kata Pak De, goyang Inul itu tidak ada duanya di dunia. Di dunia menurut Pak De, goyang ngebor cuma milik Inul. Goyang India pun kalah.“Wis pokoke, muantap macam sol-an Pak De iki,” begitu Pak De bilang sambil menyodorkan sepatu yang rampung di sol. Nasehat terakhir sebelum pamitan, “Cepat-cepatlah punya isteri. Percuma berani hidup merantau kalau nggak berani punya isteri,”Saya cuma nyengir.

Kedua, 2 bulanan setelah saya menikah. Saya ngesol bukan lagi karena sepatu rusak. Saya ngesol sepatu olah raga yang saya beli waktu saya dan isteri saya pulang kampung. Kami membeli sepatu itu di daerah Tagal Lega (Bandung) pada hari Minggu. Buatan lokal dengan model mirip model merk internasional. Entah kenapa, setiap membeli sepatu yang kebetulan tidak ber-sol (tidak ada jahitan pada bagian bawah )atau hanya sebagian yang ber-sol (biasanya bagian depan dan belakang/tumit) saya selalu merasa haru di sol dulu. Agak patuh pada nesehat ibu, biar lebih awet alias tahan lama. Sebab bagian itulah pada sepatu yang sering menjadi biang ‘almarhumnya’ sepatu. Saya sms Pak De.

Sementara tangannya cekatan mengesol, mulut Pak De tak putus berucap. Obrolan kami kali ini seputar perkara ‘orang dewasa’.Saya masih ingat lelucon sekaligus nasehat Pak De. Kalau mau cepat punya anak harus pintar. “Lihat!” kata Pak De menyuruh saya melihat tangannya yang bekerja. “Tekanan dan tarikannya harus terukur dan teratur,” lalu Pak De terbahak sambil menyikut lututku. Lalu berbagai nasehat dan lelucon pun meluncur hingga sepatu saya selesai disol. Salah satu nasehat Pak De ialah soal hidup hemat terlebih setelah rumah tangga. Meminta jasa tukang sol sepatu/sandal termasuk cara berhemat.

Tapi, kata Pak De, orang zaman sekarang lain. Soal sepatu atau sandal, kalau sudah rusak sedikit saja, ya, dibuang. Orang-orang juga cepat bosan. Baru beberapa bulan sudah mau ganti. Apalagi sekarang tiap saat model sepatu berganti-ganti dan murah-murah meski kualitas alakadarnya.

Kali ketiga,Pak De datang ke rumah. Kali ini Pak De naik sepeda dengan bawaan yang cukup banyak. Selain perlengkapan biasa, di belakang sepeda juga menumbuk barang bawaan lainnya; aneka sepatu dan sandal berbahan kulit tiruan. Modelnya bagus-bagus. Sekali pandang langsung jatuh hati. Sudah gitu, untuk ukuran di di tempat saya sekarang, harganya terbilang murah, serba Rp50.000-an. Harga pas. “Kalau ingin lebih mantap disol dulu,” tawar Pak De. Khusus ‘sol plus’ ini Pak De menawarkan tarif Rp15.000. Saya beli 1 pasang plus sol. Saya tidak adu tawar karena puas tertawa. “Kapan-kapan kalau mau ngesol datang ke kios sepatu saya,” bisik Pak De sambil menyebutkan alamat tempat sebuah kios ukuran 2 x 3 meter penuh sepatu model yang dibawanya. Di depan kios Pak De tetap membuka ‘klinik’ sol sepatu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun