Pukul 04.30 WIB. Saya setengah sadar melihat Ibu beranjak dari tempat tidur. Saya ikutan bangun meski masih ingin tidur. Saya masih kepikiran tentang Ibu. "Nak, tumben bangun sepagi ini?", kata ibu. Saya cuma ketawa kecil saja. "Ibu mau ke gereja, mau ikut?", tanya Ibu. Seperti biasa di hari-hari lain. Itu aktivitas tetap yang selalu dilakukan Ibu. Saya lantas menggelengkan kepala dan memilih untuk tidur lagi.Â
"Nak bangun nak, sudah jam enam,". Terdengar suara Ibu memanggil. "Ah Ibu sudah pulang", batin saya. Saya bergegas bangun untuk mandi dan siap ke sekolah. Ibu juga langsung menyiapkan sarapan pagi. Setelah siap, saya mendengar bunyi mobil ayah datang. Dug dag. Saya sedikit takut dan enggan untuk keluar kamar. Tetapi, "Lisa, ayo sarapan. Nanti terlambat", teriak Ibu. Saya langsung ke ruang makan dan mulai sarapan. Nasi goreng dan telur mata sapi kesukaan saya.Â
Ayah lalu lalang tanpa bersuara untuk siap ke kantor. Setelah siap, ayah berkata, "Lis, ayo ayah antarin kamu ke sekolah". Saya pun langsung mengiyakan ajakan ayah. Dengan perasaan sedikit canggung. "Ayah sarapan dulu, saya sudah buatkan sarapan juga untuk ayah", kata Ibu sambil menyiapkan piring. "Tidak usah", jawab Ayah datar. Ibu lantas meletakkan piring kembali dan tersenyum paksa ke arah saya dan berkata, "Baiklah. Lisa belajar yang baik hari ini, yah". Saya langsung memeluk Ibu dan memberi salam. Saya kasihan Ibu, tapi mulut saya tetap terkatup.
Dalam perjalanan ke sekolah, saya dan Ayah cuma terdiam. Perasaan membenci itu perlahan-lahan mulai muncul. Saya benci Ayah. Saya benci Nina. Siapa itu Nina. Tega. Terlalu tega. "Lis, Lis", teriak ayah memecah lamunan saya. "Sudah sampai, semangat untuk hari ini", kata Ayah dengan tersenyum lebar. Aku cuma mengangguk tanpa senyum dan turun dari mobil. Membanting dengan sekuat-kuatnya pintu mobil Ayah dan berlari ke gerbang sekolah.
Tiba-tiba, satpam sekolah memanggil, "Non ada yang kelupaan yah? Tuh Ayahmu keluar dari mobil. Terus manggil-manggil Non". Saya terus berlari ke dalam kelas. Saya ingat Ibu. Mata saya sedikit sembab. Hari itu saya mengikuti pelajaran dengan tidak enak hati. Ingin cepat pulang dan ketemu Ibu.
Teeet. Teeet. Teeet. Bunyi bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi. Saya dengan antusiasnya merapikan buku dan ingin segera pulang. "Lis, sebentar sore latihan menari di rumah kamu kan?Jam 4 sore loh", kata Tino teman kelas saya. "Oh iya, hampir lupa. Saya tunggu di rumah. Pentasnya sudah dekat nih, jadi harus latihan dong", jawab saya. Setelah itu saya pun pulang ke rumah dengan meminta tumpangan bersama Kian dan Ayahnya. Saya tidak mau bertemu Ayah lagi. Batin saya.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H