Pagi itu tak seperti biasanya, pembagian tugas sedikit bergeser. Biasanya setelah subuh, ibu, sang kakak, dan Diana sudah berjubel di dapur untuk menyiapkan sarapan . tapi tidak dengan pagi itu. Diana pindah ke ruang tengah untuk menghaluskan beberapa lembar kain yang belum sempat disetrika kemarin. Sedangkan ibu dan kakak perempuannya tetap dalam tugasnya di dapur.
Tidak banyak memang pakaian yang harus disetrika Diana pagi itu. Ia hanya menyetrika beberapa baju miliknya dan milik ibunya yang tertinggal kemarin untuk dipakai hari ini. Meski begitu, ia tetap ingin segera menyelesaikan setrikaannya tersebut, mengingat hari ini ibunya akan berangkat mengajar lebih pagi dari biasanya. Kepalanya tak berhenti menoleh ke arah jam dinding, ia berharap jarum jamnya berdetak lebih lambat. Tapi apa daya, suara ibunya sudah lebih dahulu terdengar.
“Baju Ibu udah Di?”
“O iya Bu, sampun,”begitu jawab Diana dengan sedikit perasaan sedih.
“Loh ibu masaknya udah selesai?”tanyanya balik.
“O ya sudaaaah, sarapan juga udah,´jawab ibu Diana dengan wajah sumringah.
Jawaban itu semakin membuatnya sesak. “Yaah, kan aku pingin sarapan bareng kayak biasanya, mumpung masih ada beberapa hari aku di rumah sebelum balik ke pondok, tapiii ya sudahlah,”
Akhirnya setelah dia selesai menyetrika, dia bergegas ke meja makan untuk sarapan, yaa meskipun tidak sesemangat biasanya. Dalam hatinya berkata, yah kasihan amat sarapan sendiri.
Tapi tiba-tiba suara sepatu terdengar mendekati ruang makan. Ternyata sang ayah menghampiri meja makan dan kemudian mengambil sarapan sebelum berangkat ke kantornya.
“Loh, Bapak belum sarapan juga toh?” Alhamdulillaah,teriaknya dalam hati, meski hanya berdua di meja makan, namun bagi Diana itu lebih dari cukup. Mereka berbincang banyak hal. Seketika setelah ia menyelesaikan sarapan, ingatannya terbang ke beberapa tahun yang lalu. Saat ia dan kakak-kakaknya masih anak-anak, teringat aturan ketat yang diberlakukan sang ayah di rumah “hanya boleh makan –besar- di ruang makan, tidak untuk selain ruang makan”. Itu aturan bersifat mengikat untuk seluruh anggota keluarga, termasuk untuk sang ayah sendiri. Ia tersenyum sendiri. Yaaaah, dulu aja waktu denger suara motor bapak semua langsung lari dengan kaki jinjit dari ruang tengah ke ruang makan sambil nenteng piring yang masih ada nasi sama lauk sayurnya, padahal lumayan capek jugaaa, jauh soalnya, masih sambil deg-deg an pula, udah berasa kayak ditilang polisi. Tapi yaaa sekarang baru faham, kenapa bapak dulu keras menetapkan aturan ini, karena memang dari meja makan inilah semuanya dapat saling berbagi rasa, cerita, dan bahagia, semua tertumpah di meja makan ini, apalagi saat kami beranjak dewasa dan mulai sibuk dengan urusan masing-masing, akan sangat susah untuk menentukan waktu berkumpul,jadi kapan lagi kalau tidak di waktu makan? Terima kasih bapak yang telah ‘memaksa’ kami untuk menaati aturan itu, meski aturan itu sekarang tidak seketat dahulu karena memang sekarang kami telah dewasa, tapi proses internalisasi nilai yang bapak maksudkan sudah sampai kepada kami, sekali lagi terima kasih kami ucapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H