Inilah alam demokrasi ala Indonesia. Mengapa Ala Indonesia, karena setidaknya karena penulis bukan pengamat demokrasi banyak negara termasuk juga bukan pengamat demokrasi dalam negeri. Namun mencermati demokrasi Indonesia dari kacamata marketing, memiliki daya tarik sendiri. Sebab, tidak sedikit persamaan yang akan kita jumpai.
Dalam benak hampir setiap orang, marketing adalah bagaimana menjual produk, bagaimana meyakinkan setiap orang untuk mengkonsumsi suatu produk ditengah "belantara" produk sejenis dengan merek berbeda yang beredar di pasaran. Dalam dunia demokrasi Indonesia, kita juga akan melihat bagaimana persaingan bebas terjadi diantara para penjuang aspirasi rakyat berjuang untuk memperoleh kepercayaan publik agar bisa memperoleh satu kursi di gedung parlement.
Secara essensi, menjual produk atau menjual "nama" agar di pilih khalayak memiliki persamaan yang signifikan. Sehingga terminologi dan bahkan proses pelaksanaanya juga memiliki ciri yang identik. Namun bagi si pemilih, menentukan pilihan dalam demokrasi memiliki resiko yang jauh lebih besar daripada sekedar memilih produk.Â
Jika anda salah dalam memilih sabun mandi misalnya, anda cukup tinggal itu dan bisa membeli sabun mandi merek yang lain. Sebab harganya murah. Namun jika anda salah dalam memilih wakil rakyat, maka ada dana belanja negera yang besar yang akan di salah gunakan dan akan ada banyak kehidupan yang akan menanggungnya.
Sebagai pemilih, kita mesti harus cerdas dan jeli dalam menyikapi setiap proses "promosi" yang dilakukan calon wakil kita di parlemen. Sebab tidak sedikit diantara mereka yang memiliki kemampuan besar dalam membangun "nama" mereka untuk menjadi sangat dipercayai. Dalam tulisan sebelumnya, penulis telah kutip kisah bagaimana mereka melakukan proses camera branding pada setiap tampilan mereka di layar kaca, kita juga akan bisa menemukan banyak referensi bagaimana mereka membangun kesan luar biasa pada nama mereka.Â
Dewi Haroen dalam bukunya Personal Branding memberikan referensi yang cukup untuk menjelaskan bagaimana sebuah nama bisa dibangun. Kita juga akan menemukan banyak referensi bagaimana Pak Jokowi membangun kesan Ndeso dan blusukan nya, sehingga menjadi media darling, dan itu menjadi jalan mulus bagi Pak Jokowi untuk meraih kursi Gubernur DKI Jakarta dan selanjutnya ke kursi kepresidenan. Namun apakah kesan yang dibangun itu bisa diwujudkan dalam sebuah realita yang sesungguhnya? Setiap pembaca pasti akan memiliki jawaban.
Jika ingin membangun Indonesia lebih baik, saya hanya melihat satu jalan yakni dengan meningkatkan kualitas diri setiap manusia Indonesia untuk semakin pintar dalam memahami setiap orang yang akan mereka pilih dalam setiap pesta demokrasi. Setiap satu suara yang akan diberikan, harus memiliki "dalil" kuat berupa kepemilikan referensi yang cukup tentang sang calon.Â
Saatnya kita mulai menutup mata dan telinga akan segala bentuk proses kampanye. Sebab lebih banyak berisi  informasi settingan. Inilah waktunya setiap pemilih meningkatkan referensi ilmiah tentang latar belakang sang calon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H