Mohon tunggu...
Bachtiar Yunizel
Bachtiar Yunizel Mohon Tunggu... Administrasi - Sales Communication Coach

Founder Citra Reksa Tama Education & Business Event, Sales Communication Coach, Trainer lapangan para penjual Sang pembelajar menulis sejak 1993

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Camera Branding"

16 September 2017   21:43 Diperbarui: 16 September 2017   22:19 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul diatas merupakan "ciplakan" dari judul Buku yang ditulis oleh seorang pakar management terkemuka di Indonesia, Rhenald Kasali di tahun 2013. Kendatipun saya baru membaca buku ini di tahun 2017, tetapi kisah Pak Rhnelad Kasali, terutama di bagian awal, membuat saya bersemangat menulis tulisan ini. 

Salah satu hal yang paling saya ingat adalah sebuah kesimpulan bahwa hampir semua orang yang ditangkap kamera telah melakukan penyesuaian tampilan atau dalam bahasa film di sebut acting sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah tampilan yang memiliki makna. Tampilan dengan penuh makna itu juga didukung kemampuan men setting aura dari dalam diri. Hasilnya dapat dipastikan sebuah tampilan yang sangat dipercaya publik akan brand yang sedang di bangunnya.

Proses ini dilakukan oleh hampir semua yang sering tampil di televisi atau kita sebut dengan public figure, sebut saja artis sampai kepada poliltisi. Jika proses ini dilakukan oleh artis, barangkali dapat dipahami. Sebab artis membangun kehidupannya dari ketenaran dan keterkenalan. Semakin mereka terkenal, semakin makmurlah hidupnya. Bahkan konon untuk menjadi terkenal, dikabarkan pula adanya settingan peristiwa besar dalam kehidupan pribadinya seperti perselingkuhan, perceraian dan lainya. Semua peristiwa itu di gunakan untuk membangun dan memelihara keterkenalan mereka dalam benak konsumen.

Bagaimana dengan anggota parlemen. Sejatinya mereka berada di gedung parlemen untuk bermusyawarah, memikirkan dan merumuskan arah perjalanan bangsa beserta para penghuninya. Namun fakta demokrasi hanya memberikan jalan "keterkenalan dan ketenaran" untuk bisa memasuki gedung parlemen dengan segala tanggung jawab dan fasilitasnya. 

Demokrasi tidak menyediakan jalan yang mulus bagi mereka yang berkualitas untuk diberi kesempatan mengurusi rakyat ini. Jika adapun yang berkualitas, maka ketenaran kembali menjadi penentu. Sehingga mereka yang terkenal menjadi sangat mudah menjadi wakil rakyat, sekalipun dengan kemampuan tidak memadai dan sangat boleh jadi bukan dengan niat ingin mengurusi rakyat,melainkan sekedar menikmati fasilitas mewah dengan membangun kesan mengurusi rakyat.

Banyak anggota parlemen dan politisi yang demikian vokal dalam berbagai kesempatan memperjuangkan masalah kerakyatan. Namun pertanyaan berikutnya adalah apakah itu memang sebuah bentuk memperjuangkan kemashlahatan atau bagian dari membangun ketenaran. Kita yang menyaksikan wawancara mereka dalam durasi waktu hitungan menit, bisa yakin saja dengan niat baiknya. Namun apa yang telah mereka lakukan sebelum camera "roll on"...? Itu yang kita juga patut pertanyakan

Tanpa mengabaikan indenpendensi pers. Tapi yang cukup menggelitik pikiran adalah, dari berita dan wawancara yang ditayangkan televisi atau media cetak, sanggup mengungkap kebenaran berapa persen. Jangan jangan hanya memperlihatkan secuil puncak gunung es, sedangkan bagian yang lebih besarnya tidak pernah terungkap. Dari kebenaran yang kita anggap secuil itu juga, apakah memang sudah diberitakan secara independent atau mengikuti selesai owner, yang nota bene adalah pemain politik juga.

Asumsi ini menjadi semakin memiliki alasanya, karena tidak sedikit mereka yang telah berhasil membangun citra baik, sebagai pengamat, pengurus partai dan anggota perlemen yang vokal, toh pada saatnya di ciduk kpk kerena korusi atau di tangkap polisi karena narkoba...

Dalam paragraf penutup, kutipan tulisan budaywan Emha Ainun Najib dalam bukunya Titik Nadir Demokrasi yang diterbitkan tahun 1996 silam masih menarik untuk kita simak.

"Mosok DPR kok mbelain rakyat! DPR cap apa itu, yang namanya DPR itu ya lembaga karier pribadi pribadi anggotanya. Yang namanya DPR itu ya semacam perusahaan yang mengkomiditikan persetujuan dan kolusi. Yang namanya DPR itu ya kendaraan politik untuk mencari kekayaan dan keselamatan. Kalau tidak begitu yang bukan DPR namanya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun