Sebuah Jurnal  Aktivitas
Â
Sejak semalam saya sangat menunggu hari ini, karena Kepala Sekolah meminta saya untuk mengikuti salahsatu workshop terbatas yang katanya dihadiri oleh para pendidik dari Irian dan Cipatujah. Sejumput hati saya melonjak saat itu. Karena sudah terlalu lama saya tidak berbincang mengenai orang-orang pulau dan kehidupannya. Jadi jujur, yang paling membuat saya tertarik untuk mengikuti workshop ini adalah bertemu dengan orang-orang Pulau seperti Pak Bagus dan Pak Taufik. Sejenak mengingat kembali masa-masa ketika saya bersama Pak Jeremias cs di Kenarilang sana, terlepas dari semua materi yang akan dibahas dalam workshop ini.
Meski sempat salah alamat, dan sempat juga saya menertawakan diri karena resepsionis dan pak satpam di gedung Mizan (dimana saya salah alamat) turut dibuat bingung, tapi sepertinya semesta memang mendukung saya untuk bisa ikut workshop ini.
Secara keseluruhan acara, saya suka, karena ritmenya mengalir dan lebih ‘akrab’. Mungkin karena bentuknya lebih tepat seperti miniworkshop (kalau saya boleh sebut begitu) dan atmosfer berbagi-nya yang begitu kentara. Hanya mungkin kecepatan penyampaian materi mungkin bisa sedikit ‘diatur’ , mengingat perlu adanya ‘pengendapan’ dalam memahami setiap kalimat yang saya yakin semuanya sarat makna.
Hal yang menarik hari ini adalah, ketika saya kembali dikenalkan dengan pola-pola penggalian dalam mengidentifikasi masalah. Dengan berbasis hal yang konkrit terjadi di lapangan itu yang membuat pemecahan masalah lebih fokus. Karena beberapa waktu ini saya sempat ‘penat’ dengan pola pembahasan seputar pendidikan yang seolah seperti terseret-seret tanpa adanya pengendapan dan juga beragamnya pandangan para pendidik ketika menanggapi dunia pendidikan itu sendiri, dari mulai level tak peduli, abai,peduli dan sangat peduli yang ‘kebablasan’(maaf sedikit curhat).
Mengulas materi pertama mengenai Kebutuhan terhadap Perubahan, dengan berbasis permasalahan yang ada di Dabatan dan Yelu. Saya mencoba membayangkan melalui penuturan Pak Taufik dan Pak Bagus. Mulai dari suasana ruangan kelas satu yang bersesakkan dimana satu bangku dijejali 5-6 orang, berarti di ruangan itu hanya terdapat sekitar 12 kursi plus meja. Dulu saya juga sekolah di sekolah negeri dengan jumlah anak yang banyak dan dengan duduk berdua atau bertiga dalam satu bangku saja saya selalu tergoda untuk mengobrol dan bercerita sampai-sampai tak menyadari di pinggir saya sudah berdiri Bu Yati (guru SD kelas 1) yang dengan sangat cepat menjewer telinga kanan saya…hehehe..tapi meski berkali-kali dengan berbagai modifikasi hukuman, saya tak pernah ‘kapok’ untuk mengobrol J !
Terbayang betapa sulitnya mengendalikan 58 siswa dengan 58 pikiran, 58 khayalan,  dan 58 mimpi. Yang saya bayangkan adalah binar-binar mata ‘keingintahuan’ mereka yang mungkin atau bahkan lebih banyak yang terlewatkan. Satu hal yang tak pernah saya lupakan dari orang-orang pulau adalah mata anak-anak yang luar biasa indah ketika mereka mengetahui sesuatu yang baru. Dan semoga di Raja Ampat yang sangat terkenal dengan keelokan bahari-nya tetap memancarkan keindahan itu di mata anak-anak generasi pewaris Raja Ampat di era berikutnya.
Dilematisnya pelaksanaan proses pembelajaran yang tak sejalan dengan agenda budaya setempat menjadi kendala yang berdampak luar biasa bagi perjalanan proses pembelajaran anak. Penguatan program semester dan program tahunan sepertinya sangat krusial terkait dengan kondisi di Dabatan dan Yelu. Penelusuran Kalender musim, jelas menjadi hal yang utama ketika membahas satu semester rencana pembelajaran guna menyiasati dengan agenda budaya setempat.
Mungkin di bulan-bulan Buka Laut, adalah saatnya anak-anak belajar materi kebaharian, dengan mengenal aneka fauna maupun flora yang mereka jumpai saat itu. Anak-anak dibekali ‘amanah tugas‘ oleh bapak/ibu guru (bisa berupa kelompok/individu) sebagai projek 2-3 minggu itu. Untuk review bagi proses pembelajaran ini, pendidik bisa saja membentuk kelompok kerja dan bisa saja dalam bentuk presentasi kelompok (presentasi bisa berupa ‘mendongeng’, gambar maupun dramatisasi). Saya membayangkan waktu luang anak-anak mungkin setidaknya akan lebih teralokasikan dengan kegiatan berkelompok dengan tugas yang jelas tentunya. Sehingga 2-3 minggu acara buka laut menjadi ter’internalisasi’ bukan hanya dari sisi teknisnya melainkan berlanjut pada proses internalisasi secara makna.
Hal yang saya ingat dari pembelajaran kelas 3, di jenjang ini ada satu Tes Kemampuan Dasar (TKD) yang saya juga kurang mengerti tujuan utama dari tes ini apa. Semoga bukan sebatas ujian ‘instan’ yang akan hilang lagi dalam sekejap. Karena bukan anak-anak di pulau saja yang mengalami kesulitan untuk menghadapi kelas 3, namun yang saya rasakan adalah betapa ‘ketegangan’ dari para pendidik pun terasa saat mengahadapi momen TKD ini. Dan nyatanya, ketika masuk ke kelas 4 yang saya rasakan adalah anak-anak memuntahkan kembali materi-materi itu, hingga beberapa juga ada yang seolah ‘amnesia’ dengan pembelajaran sebelumnya. Ada yang salah dengan TKD ini, begitu pernyataan saya ketika mengajar di kelas 4.