Pendahuluan
Ranggawarsita adalah seorang pujangga besar dari Jawa yang dikenal dengan karya-karyanya yang mendalam dan filosofis. Karya-karyanya seperti Kalasuba, Katatidha, dan Kalabendhu memberikan pandangan kritis terhadap kondisi sosial dan politik pada zamannya, yang masih relevan untuk memahami fenomena korupsi di Indonesia saat ini.
Korupsi di Indonesia telah menjadi permasalahan yang kompleks dan mendalam, mencakup berbagai sektor dan level pemerintahan. Pemikiran Ranggawarsita, seorang pujangga besar Jawa, dapat memberikan perspektif yang kaya dalam memahami fenomena ini. Ranggawarsita membagi peradaban menjadi tiga fase utama: Kalasuba, Katatidha, dan Kalabendhu. Ketiga fase ini bisa dijadikan kerangka untuk menganalisis pola dan dampak korupsi di Indonesia.
Kalasuba merupakan masa kemakmuran dan ketentraman, di mana masyarakat hidup dalam keadaan baik dan sejahtera. Dalam konteks modern Indonesia, masa Kalasuba bisa dilihat pada periode-periode awal kemerdekaan dan pembangunan ekonomi yang pesat. Pada masa ini, semangat untuk membangun negara dan memperbaiki kehidupan masyarakat sangat tinggi. Proyek-proyek besar yang dimulai dengan niat baik seringkali mendapatkan dukungan luas dari masyarakat.
Namun, seiring berjalannya waktu, Indonesia memasuki fase Katatidha, yaitu masa ketidakpastian dan kekacauan. Di fase ini, tanda-tanda penyalahgunaan kekuasaan dan merosotnya moralitas mulai muncul. Proyek-proyek yang sebelumnya dijalankan dengan semangat tinggi mulai menunjukkan penyimpangan, seperti yang terjadi dalam kasus korupsi Hambalang dan E-KTP. Ketidaktransparanan, nepotisme, dan manipulasi dalam proses pengadaan barang dan jasa menjadi semakin sering terjadi.
Fase Kalabendhu menggambarkan periode kegelapan dan ketidakadilan, di mana korupsi mencapai puncaknya dan menyebabkan penderitaan luas di masyarakat. Dampak dari korupsi yang meluas ini adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan dan hukum. Kasus BLBI, yang menyebabkan kerugian negara ratusan triliun rupiah, serta kasus Jiwasraya yang mengguncang sektor asuransi, adalah contoh nyata dari fase Kalabendhu. Korupsi pada skala ini merusak tatanan sosial dan ekonomi, menciptakan ketidakpastian dan ketidakpercayaan yang mendalam di kalangan masyarakat.
Ranggawarsita menekankan pentingnya moralitas dan pendidikan sebagai penangkal utama dari kemerosotan moral yang bisa membawa masyarakat ke fase Kalabendhu. Pendidikan anti-korupsi yang dimulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, serta penegakan hukum yang tegas, menjadi kunci dalam mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Pemikiran ini relevan dalam konteks Indonesia, di mana reformasi pendidikan dan peningkatan integritas moral pejabat publik sangat diperlukan untuk mencegah korupsi.
Selain itu, reformasi institusional juga merupakan langkah penting yang ditekankan oleh Ranggawarsita untuk mencegah terjadinya fase Kalabendhu. Dalam konteks modern, ini berarti memperkuat sistem pengawasan internal, meningkatkan transparansi dalam proses pengadaan barang dan jasa, serta memastikan akuntabilitas pejabat publik. Pembentukan lembaga-lembaga anti-korupsi yang independen, seperti KPK, adalah langkah positif, namun perlu dukungan dan penguatan terus menerus agar efektif dalam menjalankan tugasnya.
Pemikiran Ranggawarsita juga mengingatkan kita akan pentingnya partisipasi masyarakat dalam menjaga ketertiban dan moralitas. Masyarakat yang teredukasi dan sadar akan hak serta tanggung jawabnya dapat menjadi pengawas yang efektif terhadap jalannya pemerintahan. Pelaporan dan keterlibatan aktif masyarakat dalam mengungkap kasus korupsi adalah elemen penting dalam upaya pemberantasan korupsi.
Di sisi lain, pemerintah perlu menunjukkan komitmen yang kuat dalam memberantas korupsi dengan memberikan contoh yang baik. Pemimpin yang bersih dan berintegritas tinggi akan menjadi teladan bagi pejabat lainnya dan masyarakat. Sikap tegas dalam menindak pelaku korupsi, tanpa pandang bulu, akan memberikan pesan kuat bahwa korupsi tidak akan ditoleransi.
Korupsi di Indonesia, ketika dilihat melalui lensa pemikiran Ranggawarsita, menunjukkan pola yang jelas: dari masa kemakmuran yang diwarnai dengan niat baik (Kalasuba), melalui masa ketidakpastian dan penyimpangan (Katatidha), hingga mencapai puncak kegelapan dan ketidakadilan (Kalabendhu). Dengan memahami pola ini, kita dapat merancang strategi yang lebih efektif untuk memutus siklus korupsi dan memastikan bahwa Indonesia bisa kembali ke masa Kalasuba yang penuh kemakmuran dan keadilan.