Mohon tunggu...
Yunita Ramadayanti Saragi
Yunita Ramadayanti Saragi Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

You may say I'm a dreamer, but I'm not the only one..

Selanjutnya

Tutup

Drama

[FDR] Jiwa yang Sempat Tergadai

28 Juli 2013   17:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:55 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JIWA YANG SEMPAT TERGADAI, oleh Yunita Ramadayanti Saragi, No. Peserta 95

Hari itu masih sangat pagi, mentari muda masih menggeliat di sebalik awan. Sisa dingin udara malam pun masih enggan pergi. Dari sela- sela dinding dapur di sebuah rumah sangat sederhana, menyembul asap putih, membumbung hingga menjilat kaki langit. Sayup terdengar suara seorang wanita, lembut namun menyiratkan kecurigaan yang kental.

Bu Hasanah: “Dari mana kau dapat uang sebanyak itu, Bud?”

Seorang pemuda lima belas tahun duduk di sebuah kursi kayu tua di sebelah meja reot, tengah memandang ke sudut entah dengan tatapan kosong.

Budi: “Aku bekerja, Mak. Itu hasil keringat ku sendiri. Kenapa Mamak selalu tidak percaya padaku?”

Bu Hasanah: (Menghela napas dan duduk di kursi sebelah Budi) “Mamak bukan tidak percaya, nak. Mamak hanya kaget, mengapa baru kerja dua minggu begitu, hasilnya sudah banyak seperti ini. Mak takut, kau terjerumus ke pekerjaan- pekerjaan tidak halal!”

Budi: “Tidak mungkin, Mak! Anakmu ini masih punya iman. Tidaklah mungkin aku terjerumus dalam hal- hal semacam itu. Apalah aku ini, Mak? Jika berpendidikan pun tidak, lalu tidak beriman pula!!”

Bu Hasanah: “Alhamdulillah jika memang demikian. Lega Mamak mendengarnya. Ya sudah, cepat habiskan teh mu, sebentar lagi imsak. Lalu mandilah pakai air hangat yang sudah Mamak rebuskan untukmu itu. Biar kita shalat subuh berjamaah. Mamak rindu kau imami.”

Budi: (Mengangguk. Dan menggamit gelas dan menyesap habis teh yang sudah mulai dingin)

Selepas subuh, Budi pamit hendak pergi bekerja. Bu Hasanah melepas dengan doa dan harapan agar anak semata wayangnya itu, tetap selalu dilindungi Allah SWT. Budi pun mencium tangan Bu Hasanah.

***

Di sebuah apartemen mewah.

Om Frederik: “Budi, antar ini ke seseorang yang berada di Bandara. Kau tahu kan mesti bagaimana? Kalau kau berhasil, kau tak perlu repot memikirkan biaya untuk lebaran nanti. Doni sudah menunggumu di mobil.”

Budi: “Baik, Om” (Budi mengangkat kotak cokelat makanan anak- anak dari lantai dan bergegas berbalik hendak pergi)

Om Frederik: “Tunggu!! Berhubung kau pemain baru, perlu sekali lagi aku ingatkan. Kalau ada apa- apa terjadi padamu, sampai nyawa tercerabut dari raga pun, jangan sampai menyebut namaku atau siapa pun yang kau kenal di sini, paham??”

Budi: (Mengangguk dengan penuh rasa ciut) Ba.. baik.. Om..”

Om Frederik: “Kau tau kan resikonya?? Tidak mati di tangan mereka, kau pasti akan tamat di tangan kami!! Cam kan itu!! Sudah sana… Go!!!”

Budi sudah dalam perjalanan dengan Doni.

Doni: “Kenapa??”

Budi: (Mengeryitkan dahi, tidak tahu arah pembicaraan Doni kemana)

Doni: “Maksudku, kenapa mau bergabung bersama kami?”

Budi: “Mengapa bertanya seperti itu, abang sendiri kenapa?”

Doni: (terkekeh) “Aku? Cuma ini yang bisa ku lakukan untuk keluargaku. Aku tidak punya selembar kertas yang bernama Ijazah untuk meyakinkan orang- orang bahwa aku layak mendapat pekerjaan.”

Budi: “Yaa.. aku juga sama.”

Doni: “Kau masih terlalu muda untuk mati konyol atau minimal terlalu muda untuk berkarat di penjara. Seharusnya kau masih punya masa depan cerah.”

Budi: “Maksud abang??”

Doni: (tertawa) “Mengapa menganga seperti itu?? Kau takut? Dalam pekerjaan ini, kau harus melupakan rasa takutmu itu. Paham bocah ingusan?”

Budi: “A.. aku.. aku tidak takut. Dan lagi pula, inilah caraku agar masa depanku cerah. Abang urus saja diri abang sendiri, tidak usah mengurus orang lain. Toh, abang juga di sini bersamaku. Kita sama bang! Tiada beda. Satu lagi, jangan panggil aku bocah ingusan.”

Doni: “Hahahahaha,, dasar anak muda. Selalu meledak- ledak, tanpa tahu bahaya sedang mengintai seinci di mukanya.. Hahaha!”

Di bandara.

Doni: “Sudah sampai, berhati- hatilah..aku di sini, menunggu.”

Budi mencengkram kotak cokelat dengan erat dan turun dari mobil. Dia berjalan masuk bandara, dan mengedarkan pandangan pada kerumunan orang yang menumpuk. Seseorang dengan cirri- cirri tepat seperti yang digambarkan Om Frederik, duduk di bangku tunggu Bandara. Jaket kulit hitam, sepatu cokelat dan topi merah, tidak salah lagi, Budi pun menghampiri orang itu.

Budi: “Permisi, Pak. Ini paket makanan dari Bos saya..”

Pria : “Oh, ya. Terima kasih. Tapi kau harus ikut aku.”

Budi: “Ikut kemana, Pak?”

Pria itu tiba- tiba menyilangkan tangan Budi ke belakang tubuhnya. Budi sudah terkunci dalam ikatan sebuah borgol dingin di pergelangan tangannya.

Pria: “Ke Kantor Polisi!!’

Budi: “Pak.. salah saya apa Pak? Pak.. lepas kan saya.. Pak.. lepaasskan.. saya tidak bersalah.. (Budi meronta- ronta, semua orang memandanginya yang seperti kambing kesetanan)

Pria: “Kamu bisa jelaskan di kantor saja nanti.”

***

Di rumah Bu Hasanah.

Bu Hasanah: “Sudah hampir maghrib, kok Budi belum pulang ya??”

Tiba- tiba Bu Rita, istri Pak RT datang tergopoh- gopoh, menerobos masuk ke rumah Bu Hasanah dengan wajah panik.

Bu Rita: “Ibu yang sabar yaa…”

Bu Hasanah: “Lah, ada apa ini, Bu Rita??”

Bu Rita: “Pokoknya Ibu harus sabar.. Budi.. Bu.. Budi..”

Bu Hasanah: “Iyaa.. Budi kenapa, Bu??”

Bu Rita: “Budi ada di kantor Polisi, dia tertangkap basah, jadi kurir narkoba..”

Bu Hasanah: “Astagfirullahalaziiiiiiiiimmmm… Budiiiii!!!”

Bu Hasanah melorot, terduduk ke lantai dan menangis sejadi- jadinya. Bu Rita hanya mampu memeluk Bu Hasanah dan menenangkannya. Adzan maghrib berkumandang sayup- sayup. Puasa kali ini, Bu Hasanah berbuka dengan sepotong kue terpahit yang pernah ia rasakan selama hidupnya.

***

Di kantor polisi. Budi meraung- raung di kaki Bu Hasanah yang kini memandang kosong, tanpa menghiraukan Budi yang menciumi kakinya.

Budi: “Maafkan Budi Maakk.. Budi salah.. Budi khilaf Mak..”

Bu Hasanah: “Nasi sudah menjadi bubur, kau nikmati saja buah dari bencana yang kau tanam. Ternyata kau tidak lebih baik dari seonggok batu. Batu itu tidak punya akal dan pikiran, tapi paling tidak dia bisa dijadikan dinding rumah untuk melindungi manusia dari panas dan hujan. Sudah miskin, bodoh, tidak beriman pula..”

Budi: “Maafkaaan Budi Maakkk.. Budi hanya ingin Mak bahagia, tidak selalu kesusahan mencari nafkah. Budi kasihan pada Mak..”

Bu Hasanah: “Lalu, kau tidak kasihan pada aku yang sekarang ini? Menurutmu aku sekarang senang karena ulahmu??”

Budi: “Tidak, Mak,, Tidak.. Ampuun Mak.. Ampuun!!”

Bu Hasanah: “Mohon ampunlah pada Allah semata, bertobatlah kau nak.. sebagai seorang emak yang tidak punya apa- apa… tidak ada harta apalagi tahta.. melihat satu- satunya harta berharga Mamak telah masuk jurang kenistaan adalah sebuah kesedihan mendalam, Bud.. Kau harta Mamak yang paling berharga.. Kenapa kau menggadaikan dirimu menjadi hamba setan??”

Budi: “Budi salah, Mak.. Budi janji tidak akan mengulanginya lagi..”

Bu Hasanah mengusap rambut Budi dengan lembut.

Bu Hasanah: “Nak.. jadikan ini pelajaran yang berharga untukmu, Mamak bukan pejabat yang punya banyak uang dan bisa menebusmu keluar dari sini. Tegar kau ya, Nak. Jalanilah semuanya, mintalah pertolongan pada Allah semata. Jangan pernah kau tinggalkan shalat dan teruslah berpuasa. Semoga kau mendapatkan kemudahan.”

***

(Lima tahun kemudian)

Kumandang takbir memenuhi langit pagi. Seorang perempuan renta di dalam gubuk sederhana telah rapi dengan mukenanya, hendak menuju mesjid untuk melaksanakan shalat Idul Fitri. Hanya segelas teh dan sepiring ketupat sayur kiriman tetangga menghias meja tuanya. Tidak seperti rumah- rumah lain yang gegap gempita dengan berbagai makananan yang lezat. Terdengar suara salam dari pintu depan rumahnya.

Bu Hasanah: “Waalaikumsalam, siapa??”

Bu Hasanah tercekat memandang sosok yang datang, Budi sudah berdiri di ambang pintu rumahnya.

Budi: “Maaaaaaaaaaaaakkk!!!”

Budi mendekap Bu Hasanah erat. Bu Hasanah menangis. Takbir terus menggema, menyelimuti anak beranak yang penuh haru. Kerinduan terbayar lunas. Hamdallah terus terujar dari mulut mereka berdua.

-TAMAT-

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Event Fiksi Drama Ramadhan http://www.kompasiana.com/androgini

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Communityhttp://www.facebook.com/groups/175201439229892/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun