Sore itu aliran listrik mati. Tapi bukan di sini, di sana, di permukiman penduduk yang pasrah tanpa Genset. Ini pusat kota, hampir semua gedungnya punya Genset. Maka seperti selayaknya sore yang biasa, lampu-lampu mulai dihidupkan. Tak perlu lilin, yang ada hanyalah geraman mesin Genset yang kian menderu di belakang gedung-gedung.
Bibir Stasiun Kota dikerubuti becak-becak, taksi-taksi dan angkot-angkot. Serangkaian kereta api baru saja mendenguskan lenguhan remnya. Menetaskan para penumpang kusut dan kelelahan akibat perjalanan jauh di atas gerbong yang melonjak-lonjak dari pintunya yang menganga. Merekalah yang dinanti para penyedia jasa angkutan itu.
Di tengah hiruk pikuk para penumpang kereta api yang satu per satu mulai memilih jenis angkutan sesuai isi kantong dan tingkat kepraktisannya lalu pergi, Opung Lokomotif terbatuk di singgasananya. Matanya berat, mulutnya banyak menguap dan punggungnya pegal. Lokomotif antik peninggalan zaman Belanda itu hampir terlelap, sebelum lampu blitz sebuah kamera menjilat hidungnya dan ia tersentak. Seorang Ayah sedang mengabadikan pose lucu putri kecilnya bersama moncong tua Opung Lokomotif. Tanpa diminta si gadis kecil mengganti pose dengan menyentuh hidung hitam Opung Lokomotif. Hitam bukan karena sering terjerang matahari, tapi memang hitam dari sananya.
Opung Lokomotif setengah mengekeh saat melihat di gadis kecil yang kini memonyongkan bibir mungilnya dan menaikkan jari telunjuk dan jari tengah seolah menghitung angka dua. Inilah beda anak di tahun 80-90an dan anak tahun 2000-an. Anak tahun 2000-an semuanya fasih bergaya di depan kamera. Si Opung bingung menentukan hendak heran pada yang mana. Sebab ia tak dapat pula memastikan gaya kaku anak-anak 80-90an itu dikarenakan tuntutan dan tekanan psikologis yang mengharuskan hasilnya bagus karena tak dapat diulang dan buat sayang film, atau memang anak zaman 2000-an merasa terlalu rileks karena kalau hasil foto jelek bisa dihapus begitu saja dan bisa diulang sampai berapa kali mereka mau. Yang pasti Opung tahu, orang-orang 80-90an lebih suka mencetak foto mereka dan menyimpannya di album sedangkan orang sekarang lebih suka meng-upload-nya ke media sosial.
Kembali ke sore itu, orang-orang yang mengunjungi Opung Lokomotif kian banyak. Opung melayani mereka dengan ramah, namun kembali bosan kala para pengunjung sudah asyik dengan kegiatan mereka masing-masing. Opung Lokomotif mulai mengantuk lagi dan menguap. Ekor matanya melirik lirih pada pagar seng tinggi di pinggang Lapangan Merdeka.
Kalian tahu? Opung Lokomotif tak biasanya lesu di sore begini. Ia sering merasa bosan dan sedih akhir-akhir ini. Bukannya ia tak suka lagi dipajang di depan Stasiun Kota, malah ia bangga bisa memberikan sepenggal kisah sejarah pada warga Medan, tentang kejayaannya saat menggerus rel-rel kereta api sepanjang wilayah Sumatera beratus tahun yang lalu. Yang membuat ia lesu dan sedih adalah, bahwa ia akan kehilangan sahabatnya. Ia akan kehilangan geliat keriangan sederhana yang bisa ia saksikan di seberang jalan, memerhatikan aktifitas tukar menukar ilmu dengan rupiah yang disepakati dalam senyum antar penjual dan pembeli. Bahkan ia pasti akan merindukan tawar-menawar alot yang dilakukan mahasiswa berkantong tipis agar bisa mendapatkan buku-buku murah di bawah rerimbun pohon Trembesi Lapangan Merdeka. Ia akan sangat merindukan ekspresi sumringah orang-orang yang membawa banyak buku pulang ke rumah dengan harapan bertambahnya ilmu pengetahuan bagi dirinya.
Opung Lokomotif mendengar puing-puing Kios Buku Loak di balik pagar seng merintih gigil.
“Kau masih di sana?” tanya Opung dengan suara serak pada puing-puing Kios Buku Loak.
“Ya, Pung. Mungkin ini hari terakhir, sebelum besok pagi puingku dibuang entah kemana,” jawab puing pelan.
“Hah… aku pasti akan kesepian…,” keluh Opung Lokomotif.
“Berkenalan lah dengan gedung mewah itu, Pung. Centre Point Mall. Gagah benar ia…,” saran puing-puing Kios Buku Loak. Hidungnya yang tinggal separuh menunjuk pada sebuah bangunan megah di samping kanan singgasana Opung Lokomotif.
Opung Lokomotif memandang sekilas gedung yang dimaksud puing Kios Buku Loak dan kembali menatap puing di sebalik pagar seng.
“Ah… ngeri!” desisnya.
“Kok ngeri, Pung? Kan keren, itu simbol meningkatnya modernisasi kota kita tercinta ini lho, Pung. Katanya kan, Medan mau menuju kota metropolitan,” sambung puing Kios Buku Loak.
“Bah! Kerenan lagi kalian… hadirnya kalian membawa manfaat pada banyak orang yang butuh ilmu pengetahuan dengan harga terjangkau, sehingga bisa menciptakan generasi bangsa yang tangguh dan berilmu. Sedangkan gedung itu, hadir untuk kalangan berduit saja dan malah mengajari orang untuk hidup konsumtif, bukan produktif. Makanya heran kali aku, kok kelen pulak yang digusur!” dengus Opung.
“Ah… gak kayak gitulah, Pung. Kami bukan digusur… kami kan cuma dipindahkan, bukan dihilangkan. Kami ini tidak punya izin legal di sini, maka kami dipindahkan ke tempat yang lebih baik dan berizin tentunya,” debat puing Kios Buku Loak.
“Apa kaupikir gedung mewah itu punya izin, ha?!”
“Eh… mmm… tentu! Tentunya punya, Pung! Itu gedung yang sangat besar secara fisik dan tidak tersembunyi seperti bangunan liar yang lain. Dia ada di pusat kota! Kalau mereka tidak punya izin atau tidak punya dokumen AMDAL atau yang lainnya, sudah barang tentu pihak yang berwenang segera mengendus dan segera mengambil tindakan dengan merobohkannya. Tapi liat sendiri, Pung! Gedungnya bahkan udah rampung dibangun!”
Puing Kios Buku Loak memandang takjub mega screen super besar di badan Centre Point Mall yang mulai dihidupkan. Ada gambar-gambar model ganteng dan cantik yang seolah mengajak siapa saja masuk dan menikmati suasana di dalamnya.
“Wuiih! Canggih kali orang zaman sekarang ya, Pung? Bisa bikin tipi selebar itu… ckckck… ini yang namanya kecanggihan modernisasi, Pung. Kita patut berbangga Medan punya yang kayak gini…,” lanjut puing Kios Buku Loak.
Opung Lokomotif hanya melirik sekilas dan mendesah,
“Andai kalian punya uang lima puluh milyar, pasti kelen gak akan digusur. Tetap di sini menemani aku menantikan malam yang temaram….”
“Eh, maksud Opung apa?”
“Sudahlah… jangan pura-pura gak tau kau. Aku tau kali nya kalok kau itu sedih sudah diusir dari sini, padahal sudah berpuluh-puluh tahun ada di sini. Bahkan sudah menjadi ikon kota keberadaanmu itu. Cuma karena kau orang kecil, kau gak bisa melawan. Karena kau orang kecil, kau gak punya uang untuk bisa bertahan. Nah, yang gedung besar itu punya kekuasaan dan uang, jadi bisa sukak-sukaknya….”
“Hush! Jangan ngomong sembarangan, Pung! Nanti kau bisa dilaporkan ke Polisi karena pencemaran nama baik!”
“Ngapain pulak aku takut? Rakyat Medan sudah mengajariku untuk berani saat dulu aku menyaksikan mereka melawan penjajah demi kemerdekaan, bahkan menggadai nyawa pun berani!”
“Sudahlah, Pung. Kami gak apa-apa, kok. Pemerintah juga sudah menempatkan kami di sebaik-baiknya tempat. Sebentar lagi, seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat juga akan terbiasa menerima keberadaan kami di tempat yang baru. Kami ini kan hanya bangunan liar tak punya kekuatan hukum apa pun,” ceracau puing Kios Buku Loak.
“Kalian bangunan liar punya rakyat kecil, jadi gampang memitas kalian. Sedangkan itu, gedung mewah itu adalah bangunan liar punya orang berkuasa dan berduit, jadi sulit untuk memberi sanksi apa pun. Bangunan itu terang menyalahi hukum, mereka tak punya surat izin mendirikan bangunan. Tapi tak ada sesiapa pun yang berani melawan.”
“Sudah, Pung. Sudah… kami ini bukan sembarang orang kecil, kami orang berilmu. Kami mau mundur karena kami tahu dan mengerti hukum. Kami punya loyalitas pada pemerintah. Rakyat yang mau diatur ke arah perubahan yang lebih baik adalah rakyat yang bijaksana dan mulia. Walau kami kecil, tapi masyarakat memandang kami besar. Bagi kami itu sudah cukup.”
“Tetap tidak cukup untukku!” bantah Opung Lokomotif. “Bagiku selain rasa keadilan yang sudah tidak ada, Medan-ku kini sudah kehilangan taringnya. Tak pantas lagi meneriakkan slogan ‘Ini Medan, Bung!’ mereka sudah membiarkan budayanya digerus demi sebuah nama modernisasi!”
“Jangan, Pung. Jangan kaitkan ini dengan masalah budaya. Rakyat Medan adalah manusia-manusia yang sangat menghargai budayanya, walaupun pada akhirnya nanti pusat-pusat kebudayaan kota akan bergeser ke perkampungan, namun kebudayaan itu tidak akan pernah hilang dari jiwa rakyat Medan. Tapi perlu diingat, Pung, warga Medan juga bukan anti modernisasi, mereka sangat mendukung itu. Kebudayaan dan moderniasai akan hidup seiring sejalan,” sanggah puing Kios Buku Loak.
“Itulah yang kubilang dengan kehilangan taring. Mau-maunya digusur dari tanah sendiri. Kalau begitu ceritanya, aku khawatir, demi modernisasi aku akan tidak ada lagi di sini karena terpinggirkan, dianggap sudah kuno dan tak penting. Atau yang lebih parah sudah dibisniskan dan diperjualbelikan. Kenyataan itukah yang kaubilang seiring sejalan?”
“Tentu tidak, Pung … sabarlah sebentar. Tugas kami belum selesai … biarkanlah kami lanjutkan misi kami untuk mencetak generasi bangsa yang lebih baik dari segi akhlak dan keilmuannya melalui buku-buku dan karya sastra yang kami perjual-belikan dengan harga terjangkau ini. Mudah-mudahan masyarakat kita akan semakin pintar dan berakal. Serta anti kapitalisme dan anti kesewenang-wenangan. Tenang, Pung… masa itu akan segera tiba. Aku percaya kehidupan kita akan jauh lebih baik lagi. Belum saatnya kita mati hanya karena ketidak-adilan!”
“Ya … itu maksudku! Mengapa kita tidak berani langsung melawan ketidak-adilan yang nyata terpampang di wajah-wajah kita? Mana semangat rakyat Medan yang pernah kusaksikan dulu itu? Sudah mati diinjak gadget atau mahkluk bernama moderen itu?”
Puing Kios Buku Loak menarik napas. “ Keadilan masih sulit didapat saat perut orang masih lapar, Pung. Nanti kalau perut si penguasa sudah meledak dan meletus, mereka akan sadar bahwa manusia hanya perlu makan tiga kali sehari dan memberikan kelebihan mereka pada yang kelaparan. Pada saat itu semua orang tidak lapar dan pada saat itu pula, keadilan akan muncul dari kerak bumi dengan sendirinya!”
“Tapi kapan?” Opung Lokomotif bertanya lantang mulai tak sabar.
“Suatu saat nanti…,” erang puing Kios Buku Loak.
Opung Lokomotif menghela napas berat. Sekali lagi ia melirik Centre Point. Sahabat baru warga Medan dan mungkin juga akan menjadi sahabat baru dirinya. Mengertikah ia nanti saat kuajak bicara tentang bahasa sederhana tentang kesulitan hidup rakyat kecil? batin Opung. Tidak, ia tak akan mengerti. Sebab dari gelak tawanya, dari kerjapan mata mewah dan bentangan tangannya, ia hanya ingin menyambut dan menantikan orang-orang Medan untuk menghabiskan pundi-pundi uangnya yang bahkan baru tadi sore didapatnya dari cucuran keringat sebagai kuli.
“Ini Medan, Bung!” desau Opung Lokomotif lirih.
Menjelang malam, geraman Genset sudah mereda, aliran listrik kembali nyala. Teriakan syukur di rumah-rumah penduduk tanpa Genset serempak membahana. Lilin pun ditiup, aktifitas kembali menggeliat.
“Hei… kau belum tidur, kan?” usik Opung Lokomotif lagi pada puing Kios Buku Loak.
“Ada apa lagi, Pung?”
“Kau tahu mengapa aliran listrik sering mati hidup akhir-akhir ini?”
Puing Kios Buku Loak menarik napas, melesakkannya ke relung jiwanya yang sudah melompong.
“Sudah, Pung… tidur saja. Kau perlu banyak istirahat. Cekung di mata tak baik untuk seorang foto model macam kau…,” canda puing Kios Buku Loak.
“Ah, kau ini? Baiklah sampai jumpa entah kapan lagi ya…,” ujar Opung.
“Ya… sampai jumpa, Opung Birong! Aku akan merindukan batuk-batukmu itu!”
Opung Lokomotif terbatuk dan tak lama lalu mendengkur. Puing Kios Buku Loak meringkuk kedinginan,
“Besok aku sudah tak di sini… sampai jumpa pohon Trembesi… kawal lah baik-baik Lapangan kebanggan milik warga Medan ini. Jangan sampai ia dijadikan gedung pula oleh orang-orang berduit itu…. INI MEDAN, BUNG!”
Medan, 18 Februari 2014
YRS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H