Mohon tunggu...
Yunita Indriyani
Yunita Indriyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Energy Security

Co 10

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dampak Perebutan Sumber Energi di Kawasan Laut China Selatan Terhadap Kedaulatan Indonesia

10 Mei 2024   22:37 Diperbarui: 10 Mei 2024   22:52 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Zona Maritim pada UNCLOS 1982 (UNCLOS, 1982)

Perkembangan lingkungan strategis di dunia menuntut Indonesia untuk beradaptasi dan memastikan kesiapannya dalam merespon berbagai ancaman yang semakin beragam baik dari dalam maupun luar negeri serta berpotensi membahayakan kedaulatan negara. Ancaman terbagi menjadi tiga jenis yaitu ancaman militer, ancaman non militer dan ancaman hibrida. 

Konflik perebutan kekuasaan teritorial merupakan ancaman klasik yang dapat mengganggu stabilitas hubungan antar negara dimana Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 81.900 km yang berbatasan dengan 10 negara lain, mengingat dari 17.504 pulau yang dimiliki Indonesia sebanyak 111 pulau berada diwilayah perbatasan atau jalur persimpangan "daerah panas" antara benua Asia dan Australia serta antara samudera Pasifik dan Hindia (Indrawan, 2015, Asy'ari et al., 2020). Salah satu sengketa terkait teritorial perairan yang paling diperebutkan pada abad ke-21 yaitu Kawasan Laut China Selatan (Logreira, 2015).

Kawasan Laut China Selatan terdiri dari perairan dan daratan pada gugusan dua pulau besar yaitu Spratly dan Paracels, serta bantaran Sungai Macclesfield dan Karang Scarborough yang terhampar luas dari Selat Malaka hingga Selat Taiwan (Rizki Roza et al., 2013). Laut China Selatan diperebutkan oleh beberapa negara seperti Republik Rakyat China (RRC), Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei Darussalam karena diprediksi memiliki potensi sumber daya alam terutama mineral, minyak bumi dan gas alam atau sumber energi sekitar 28 miliar barel minyak dan sekitar 900 triliun kaki kubik gas alam seperti yang dilaporkan oleh Energy Information Administration (EIA) milik Amerika (BBC, 2020).

Berbagai klaim mutlak pada wilayah perairan Laut China Selatan, menimbulkan sejumlah kekhawatiran baik dari negara pengklaim seperti China, Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia dan Brunei Darussalam maupun negara non-pengklaim seperti Indonesia harus waspada terhadap berbagai potensi ancaman stabilitas dan keamanan wilayah yang sewaktu-waktu dapat memicu konflik bersenjata terbuka secara luas dengan intensitas tinggi (high intensity conflict), serta diperparah dengan adanya latihan militer sepihak ataupun bersama (bilateral) pada pangkalan militer di Kepulauan Spartly sebagai bentuk unjuk kekuatan maupun intimidasi sehingga menambah ketegangan dan memicu eskalasi konflik di kawasan Laut China Selatan (Rizki Roza et al., 2013).

Luas seluruh lautan di bawah yurisdiksi Indonesia mencapai 5,8 juta km atau hampir 70% dari luas seluruh wilayah Indonesia, dikarenakan Indonesia menganut Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS 1982) yang membagi laut yurisdiksi nasional menjadi beberapa bagian di bawah kedaulatan penuh suatu negara untuk melakukan wewenang serta hak-hak khusus yang diatur oleh Konvensi di perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, jalur atau zona tambahan, zona eksklusif (exclusive economic zone), dan landas kontinen seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1 berikut ini (Purwatiningsih and Masykur, 2012).

Kepulauan Natuna di kepulauan Riau yang masuk dalam kawasan Laut China Selatan, diketahui memiliki cadangan gas alam terbesar di kawasan Asia Pasifik yaitu ladang gas D-Alpha yang terletak 225 km sebelah utara Pulau Natuna secara Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sesuai Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau UNCLOS 1982 dengan total cadangan gas alam sebesar 112.356.680 Barel dan cadangan minyak bumi diperkirakan mencapai 14.386.470 Barel. 

Cadangan energi sebagai kekayaan sumber daya alam wajib dilindungi secara geografis, geopolitis, geoekonomis dan geostrategis sebagai objek vital nasional mengingat isu-isu strategis terkait sekuritas seperti keamanan energi, keamanan lingkungan, keamanan ekonomi seiring perkembangan zaman (Anggoro, 2005). 

Selain memiliki cadangan sumber energi, Kepulauan Natuna juga berada pada jalur pelayaran internasional antara Hongkong, Jepang, Korea dan Taiwan serta berbatasan dengan negara Vietnam dan Kamboja di utara, dibagian barat berbatasan dengan Singapura dan Malaysia, kemudian di bagian timur berbatasan dengan Malaysia Timur seperti yang ditunjukkan Gambar 2 dibawah ini (Purwatiningsih and Masykur, 2012).

Gambar 2. Peta Letak Kepulauan Natuna diantara Jalur Pelayaran Internasional dengan Hongkong, Jepang, Korea dan Taiwan/Cimsec
Gambar 2. Peta Letak Kepulauan Natuna diantara Jalur Pelayaran Internasional dengan Hongkong, Jepang, Korea dan Taiwan/Cimsec

Meskipun tidak ikut terlibat dalam sengketa klaim kepemilikan wilayah di laut China selatan secara langsung, namun secara tidak langsung Indonesia berada di jalur sengketa overlapping claim yang dilakukan oleh negara seperti RRC, Vietnam dan Filipina. Salah satu faktor penyebab sengketa ini adalah adanya sumber energi yang melimpah, seperti yang kita ketahui bahwa energi merupakan faktor krusial bagi suatu negara untuk dapat menggerakkan roda perekonomian suatu bangsa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun