Akhir-akhir ini, sosial media yang cenderung disemarakkan oleh para muda-mudi semakin ramai saja. Bukan lagi masalah galau cinta-cintaan, tetapi galau akan masa depan Negara. Bagaimana tidak? Anak-anak Bangsa ini semangat mengikuti Pemilihan Umum 2014. Mereka  saling menyuarakan suaranya secara terang-terangan menurut keyakinannya masing-masing. Tak heran, adu kicau di twitter, facebook bahkan path nongol di timeline kita bukan?
Cukup tenang, setelah masa pemilihan presiden selesai dikira pergolakan politik di media sosial berakhir. Ternyata belum. Malah kini pergolakan semakin memanas dengan ditetapkannya UU MD3 oleh DPR yang mengesahkan pemilihan Kepala Daerah melalui DPR, tidak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat.  Berang, masyarakat Indonesia sebagai warga negara semakin bergolak menyuarakan "Perampasan hak politik" oleh kaum politisi. Banyak diantaranya yang dulu sangat mendukung koalisi  yang katanya "Merah Putih" kini tak sejalan lagi dengan pemikiran politisi tersebut. Sebenarnya sudah bisa terbaca tabiat W*w* cees, tidakkah  mengerti?
Tak selesai sampai disitu, sekarang sedang bergulir persidangan mengenai Pemilihan Presiden yang akan ditetapkan melalui MPR. Lantas, mau di kemanakan suara rakyat? Tidak berhargakah suara kami? Menurut mereka, hanya mereka yang pantas menilai siapa orang yang terbaik untuk memimpin? Namanya saja Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi tidak mewakilkan suara rakyat! Dimana telinga mereka?
Sila ke-4 Pancasila UUD 1945 menjadi alasan pembenaran, "Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan." Kebijaksanaan apa? Permusyawaratan apa? Maunya main voting saja di DPR dan tidak mau mendengar pendapat pihak lain dan suara rakyat.
Mari terus suarakan Hak Politik Kita, wahai para Rakyat Indonesia! Semoga Tuhan beserta kita dan senantiasa merahmati Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H