Mohon tunggu...
Yunisa hasary
Yunisa hasary Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Love your self😊

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bid'ah Hasanah dan Dampaknya dalam Kehidupan

31 Desember 2021   18:00 Diperbarui: 31 Desember 2021   18:22 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Beberapa tahun terakhir Indonesia dihebohkan dengan gerakan mengkafirkan dan membid'ahkan antar sesama muslim. Fenomena tersebut muncul sejak gerakan Wahabisme semakin marak di Indonesia. Wahabi menyebarkan faham yang banyak bertentangan dengan kebiasaan dan adat beragama orang Indonesia. 

Gerakan Wahabi mendapat dukungan penuh dari pihak luar, terutama pihak yang ingin menguasai Indonesia. Maka ormas Indonesia yang ingin menjaga keutuhan NKRI, terus mempertahankan tradisi keberagamaan yang ada di Indonesia seperti: tahlilan, tujuh harian, empat puluh harian ataupun ziarah kubur. Yang mana hal tersebut selalu menjadi senjata bagi Wahabi untuk menyerang keharmonisan umat beragama di Indonesia. 

Kelompok yang mampu membid'ahkan kelompok lain menganggap diri mereka  adalah kelompok yang paling benar dalam ibadah dan mengamalkan Sunnah. Padahal apabila menilik sejarah kebelakang ada salah satu bid'ah yang maslahatnya masih bisa dirasakan sampai sekarang dan sampai hari kiamat. Bid'ah tersebut adalah kodifikasi al-Qur'an  pada masa kepemimpinan Khulafaurrosyidin yang pertama yaitu Sayyidina Abu Bakar as-Shidiq. 

Abu Bakar as-Shidiq yang saat itu menjabat sebagai pemimpin umat Islam pertama menggantikan Rasulullah S.A.W yang telah wafat, menolak usulan dari sahabatnya Umar Bin Khattab untuk mengumpulkan al-Qur'an dalam satu mushaf utuh. Abu Bakar berpendapat bahwa hal tersebut telah menyelisihi Nabi. Nabi tidak pernah memerintahkan untuk mengumpulkan al-Qur'an dalam satu mushaf ketika beliau masih hidup. Sedangkan Sayyidina Umar bin Khattab berpendapat lain, dia mengkhawatirkan banyaknya korban pada perang Yamamah  yang terjadi antara para pengikut nabi palsu Musailamah Al-Kadzab dengan para sahabat yang masih teguh imannya pada tahun 12 H. Peperangan tersebut telah merenggut banyak korban terutama penghafal al-qur'an. Umar bin Khattab  takut apabila para penghafal Al-Qur'an atau huffadz banyak yang terbunuh maka  al-Qur'an akan pun akan ikut hilang  dari muka bumi. Karena keberadaan al-Qur'an  pada masa itu masih berbentuk hafalan dan manuskrip, belum terkumpul dalam satu mushaf yang utuh. 

Perdebatan antara Umar dengan Abu Bakar berlangsung alot. Keduanya sama-sama mempunyai argumen yang  kuat.  Meski akhirnya Abu Bakar luluh setelah terus dibujuk oleh Umar bin Khattab  dan mempertimbangkan banyak hal. Abu Bakar menyadari bahwa hal tersebut  merupakan langkah yang baik bagi umat Islam kedepannya, dia meyakinkan  dirinya sendiri dan Zaid bin Tsabit  sebagai orang yang dipercaya untuk  menuliskan kembali manuskrip-manuskrip Al-Qur'an yang masih bercerai berai. 

Sama dengan Abu Bakar, Zaid bin Tsabit pun sulit untuk dibujuk melakukan hal tersebut, bahkan dia mengatakan  lebih baik memindahkan bukit daripada harus melakukan hal yang tidak pernah  diperintahkan oleh Nabi Muhammad S.A.W. Sebelumnya Zaid merupakan salah satu sekretaris Nabi dalam menuliskan beberapa ayat Al-Qur'an pada batu, tulang atau pelepah kurma, Zaid berani melakukan hal tersebut karena didampingi langsung oleh Nabi S.A.W , tetapi ketika meminta menuliskannya  menjadi satu mushaf yang utuh keraguannya pun muncul.  Sampai akhirnya Abu Bakar dan Umar meyakinkan hatinya ini adalah sesuatu yang maslahat bagi umat Islam melihat banyaknya penghafal al-qur'an yang gugur di Medan perang.

Dengan bujukan tersebut akhirnya Zaid bin Tsabit pun mau menerima ajakan  Abu Bakar dan juga Umar, Zaid menyelesaikan tulisannya dalam waktu satu tahun. Ia mengumpulkan semua manuskrip  dan juga para penghafal Al-Qur'an, karena dia belum mau menulis apabila belum terpenuhi dua syarat utama, yaitu  ayat yang bisa masuk kedalam al-qur'an hanyalah ayat yang terdapat pada manuskrip dan  telah dihafal oleh salah satu penghafal Al-Qur'an, dengan kata lain ayat tersebut telah memiliki sanad.  Apabila telah memenuhi dua syarat tersebut baru bisa ditulis dalam mushaf Al-Qur'an.

Tidak bisa dibayangkan dunia ini apabila ketika itu Abu Bakar as-Shidiq benar-benar menolak usulan Umar dan takut melakukan bid'ah. Itulah sebabnya mengapa ulama membagi bid'ah kepada  dua bagian. Bid'ah Hasanah dan juga  Bid'ah Dhalalah. Hasanah yang berarti baik memiliki arti bahwa pembaruan yang terjadi pada masa sekarang adalah  sesuatu yang baik yang tidak bertentangan dengan Syari'at Islam , hal tersebut halal dilakukan menurut Al-Qur'an dan Sunnah. Berbeda dengan Bid'ah Dhalalah yang sama dengan namanya yang berarti sesat, bid'ah semacam ini bertentangan dengan al-qur'an dan hadits Nabi S.A.W sehingga  tidak bisa diamalkan. 

Kodifikasi al-Qur'an yang dilakukan oleh  Abu Bakar as-Sidiq merupakan bid'ah Hasanah yang tidak bisa ditentang . Kaum yang masih mengharamkan bid'ah  bahkan mengharamkan bid'ah hasanah  berarti mereka juga seharusnya menolak  adanya kodifikasi al-Qur'an. Dan bila mereka menolak adanya kodifikasi al-Qur'an berarti mereka juga seharusnya  tidak meyakini al-qur'an yang ada didepan mereka, karena hal tersebut termasuk bid'ah yaitu ide dari salah  satu sahabat bukan murni dari Rasul S.A.W

Tetapi pada kenyataannya Wahabi yang selalu mengkafirkan dan membid'ahkan kelompok lain merekalah yang paling banyak mengambil dalil dari Al-Qur'an. Sampai muncul kelompok ahli Sunnah Wal Jama'ah yang ingin mengembalikan umat muslim kepada Sunnah yang benar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun