Mohon tunggu...
Yunis Saja
Yunis Saja Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Melihat setiap kesempatan dan yakin bahwa itu akan bisa mengantarkan pada keberhasilan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Kesetaraan Gender Harus Diperdebatkan?

4 Mei 2012   04:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:45 3222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat ini,di DPR sedang gencar- gencarnya dibahas RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG). RUU KKG ini merupakan usulan pemerintah dan masuk ke DPR sekitar Agustus 2011. Ada yang pro namun justru banyak yang kontra sehingga banyak menuai protes, penentangan dan penolakan. Sebenarnya ada apa dibalik RUU Gender?



Fakta RUU Gender

Awal munculnya ide KKG sebenarnya adalah ide stereotype barat sebagai ekspresi perlawanan atas penindasan perempuan di Eropa. Hal ini terjadi dikarenakan adanya pembedaan dan ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki. Seperti misalnya para wanita dianggap sama dengan hewan peliharaan, barang yang kapan saja bisa ditukar-tukar dan diperjualbelikan. Sejak zaman Yunani, Romawi, dan Abad Pertengahan (the Middle Ages) , dan bahkan pada Abad Pencerahan sekali pun, Barat menganggap wanita sebagai makhluk inferior, manusia yang cacat, dan sumber dari segala kejahatan atau dosa

Untuk menghilangkan penindasan tersebut maka kedudukan perempuan dan laki-laki harus disetarakan dan disamakan. Begitulah penyelesaian mereka untukmengatasi ketidakadilan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sama persis dengan pemahaman keadilan ala Marxist.



Dalam perspektif gender, penindasan atas perempuan dipengaruhi oleh sudut pandang patriarkhi dalam aturan dan hukum. Maka aturan dan hukum harus dibuat dengan sudut pandang perempuan agar terealisasi KKG. Keterlibatan perempuan menjadi keharusan sekaligus ukurannya. Jika partisipasi perempuan itu sama dengan laki-laki barulah dianggap benar-benar setara dan adil.Seperti terkutip pada pasal 1 ayat 2 dan 3:

“Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan”. Sedangkan “Keadilan Gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat dan warga negara”.

Dalam perspektif gender, penindasan atas perempuan juga dipengaruhi oleh pandangan budaya dan agama yang dianggap patriarkhis. Maka pengaturan relasi laki-laki dan perempuan dalam semua aspek harus dijauhkan dari ketentuan agama itu dan harus diserahkan kepada manusia dengan partisipasi perempuan yang setara dengan laki-laki. Dari hal ini sangat jelas sekali bahwa nilai – nilai dalan RUU KKG ini banyak diambil dari Barat yang memang mengangungkan liberalisme dan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan).

Benar saja, Dokumen Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), Beijing Platform For Action (BPFA) dan Millenium Developments Goals (MDGs), disinyalir menjadi menjadi landasan yuridis dan rujukan dari dibuatnya RUU KKG ini. Paradigma, istilah, definisi dan kalimat-kalimatnya banyak menyontek dokumen-dokumen tersebut..

Hal ini terbukti dari bunyi pasal 1 ayat 4 draf RUU KKG menyebutkan: ’’Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki’’.

Definisi ini tidak jauh berbeda dengan part I article I CEDAW yang berbunyi: ’’…discrimination against women shall mean any distinction, exclusion or restriction made on the basis of sex which has the effect or purpose of impairing or nullifying the recognition, enjoyment or exercise by women, irrespective of their marital status, on a basis of equality of men and women, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural, civil or any other field’’.



Sesi ke-39 Sidang Komite CEDAW PBB pada 23 Juli - 10 Agustus 2007, meminta pemerintah segera menuangkan konvensi itu dalam hukum nasional. Indonesia didorong untuk melakukan studi banding tentang kodifikasi dan penerapan tafsir progresif terhadap hukum Islam.

Bukti lain bahwa memang RUU KKG ini mengacu pada barat adalah adanya kunjungan kerja yang dilakukan wakil dariDPR ke Eropa untuk mempelajari dan mencari sumber yang akan dijadikan rujukan RUU ini.(indopost.com)

Pro dan Kontra RUU KKG

Ketika RUU KKG mulai diusulkan, banyak sekali sambutan dari kalangan masyarakat, baik yang pro maupun yang kontra. Bagi yang pro, seperti pernyataan Aleg PKS Ledia Hanifa, yang juga anggota panja RUU KKG Komisi VIII DPR RI, RUU KKG ini sebagaimana judulnya adalah untuk mengarah pada terjadinya keadilan gender, dengan beberapa titik tekan pada perlindungan dan pemberdayaan perempuan. Tentu saja sama sekali kita tidak ingin RUU ini justru memunculkan mudharat seperti goyahnya keharmonisan keluarga(fpks.or.id/2012/3).

Dalam Naskah Akademik tentang Kesetaraan Gender (NA RUU KKG) disebutkan bahwa Rancangan Undang Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) perlu disusun karena adanya ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia dalam memperoleh manfaat yang sama dan adil dari hasil-hasil pembangunan antara laki-laki dan perempuan.

Disamping itupun, adapula yang kontra. Justru suara kontra dengan RUU KKG ini lebih banyak, terlebih dilakukan oleh ormas- ormas Islam. Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) dengan tegas menolak RUU KKG ini dalam takblig akbar untuk menolak Rancangan Undang Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG), di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, 8 April 2012 lalu.(antaranews.com/2012/9)

Sekjen MIUMI Bachtiar Nasir menjelaskan definisi gender dalam RUU bertentangan dengan konsep Islam tentang peran dan kedudukan perempuan. dalam Pasal 1, 2, dan 3 memiliki pertentangan dalam ajaran Islam. Sebab dalam Islam, pemaknaan hal tersebut tidaklah berarti persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam semua hal. pasal 4, katanya, memberikan gambaran yang keliru tentang kemajuan dan peran perempuan dalam pembangunan, sehingga memaksakan keterlibatan perempuan di dalam ruang publik, di semua lembaga pemerintah dan non pemerintah, dan mengucilkan makna peran perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pendidik anak-anak di rumah.

Adanya RUU KKG ini yang dianggap mampu memberdayakan perempuan justru kemungkinan besar akan memperdaya perempuan.

Penutup

Dalam setiap RUU yang dibuat oleh Negara ini kadang banyak menuai protes. Hal ini disinyalir karena banyak aturan- aturan yang sudah tertulis di UU sebelumnya. Terdapat juga banyak sekali pasal – pasal karet yang bisa ditarik ulur sesuai kondisi kasus. Selain itu adanya pasal pasal yang tidak sesuai dengan norma agama, sehingga bisa saja orang yang ingin menjalankan agamanya secara kyusuk akan masuk penjara karena terjerat pasal KKG. , Pasal 70 RUU ini memberikan ancaman pidana penjara bagi setiap orang yang sengaja melanggar pasal 67. Dengan pasal ini, penjara nantinya akan dipenuhi oleh orang yang yang ingin menjalankan agamanya karena dianggap tidak sejalan dengan ide gender dan KKG yang diusung RUU ini.

RUU KKG dianggap seolah-olah menjadi solusi bagi setiap masalah perempuan dibidang gender. Padahal masalah perempuan tidak hanya pada masalah gender saja, tetapi juga banyak dalam pendidikan,kemiskinan dan ekonomi. Ketika satu UU sudah mencakup hal itu semuanya (missal UU HAM pada pasal-pasal yang menjelaskan hak dan kewajiban perempuan) maka dirasa tidak perlu membuat UU baru.

Perlu dipikirkan apa saja konsekuensi saat membuat UU. Mulai dari anggaran yang digunakan untuk membuat UU ini yang akan membengkakkan pengeluaran negara, waktu yang digunakan dalam penyusunan UU ini akan lebih baik jika digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah sangat parah dinegeri ini. Misalkan kemiskinan, korupsi dan lain-lain.

Perlu ditinjau juga, adanya UU ini akankah tidak memunculkan permasalahan baru jika benar-benar posisi perenpuan disejajarkan dengan wanita. Misalkan masalah kecil tentang cuti hamil wanita, jangan –jangan laki-laki juga minta waktu cuti yang sama seperti wanita.

Hendaknya pemerintah juga berpikir mendalam dulu sebelum membuat UU.

Apakah benar-benar membawa kemanfaatan yang nyata atau hanya ilusi. Apakah benar selama ini di Indonesia secara umum telah berlangsung pemasungan dan perampasan hak-hak perempuan di segala bidang kehidupan sehingga RUU ini sangat mendesak untuk disahkan? Apakah RUU ini akan menjamin kesejahteraan dalam masyarakat seutuhnya? Padahal justru banyak sekali pasal-pasal didalamnya yang memandulkan peran dari sisi keluarga maupun masyarakat.

Ataukah hal ini karena sebagai konsekuensi logis dari keikutsertaan Indonesia menandatangani konvensi CEDAW pada tahun 1980, sehingga tidak diperlukan kontekstualisasi keindonesiaan dalam mengimplementasikan butir-butir yang termaktub dalam CEDAW?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun