Saya berasal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat tepatnya disebuah desa kecil yang namanya desa Pringgasela. Desa Pringgasela berlokasi sekitar 54 Kilometer dari Kota Mataram, atau sekitar 1 jam perjalanan. Anda bisa mengunjunginya dengan menggunakan kendaraan pribadi. Dari Kota Mataram, Anda bisa menempuh rute Mataram-Cakranegara-Narmada-Sedau-Mantang-Kopang-Terara-Sikur-Masbagik-Pringgasela. Sedangkan dengan menggunakan angkutan umum, Anda bisa menaiki angkutan dengan jurusan Mataram-Bertais (Rp. 3.000,- per orang). Kemudian dilanjutkan dengan jurusan Bertais-Masbagik (Rp. 10.000,- per orang).
Saya pribadi sangat bangga menjadi bagian dari desa kecil ini, dimana penduduknya sangat ramah kepada semua orang. Dan masih memiliki rasa kekeluargaan yang erat. Masih menjunjung tinggi tradisi tradisi yang ada di desa pringgasela ini. Desa kecil namun hangat. Menyimpan banyak kerinduan apabila ditinggalkan. Saya sangat bangga menjadi bagian dari desa ini. Desa kecil yang asri dan damai.
Di daerah saya ini masih kental akan budaya dan didaerah saya juga terkenal akan kain tenunnya. Konon pada saat zaman dahulu, Â seorang gadis di Desa Pringgasela, menenun adalah sebuah kewajiban yang harus dikuasai. Kemampuan menenun merupakan salah satu bagian dari kebudayaan kearifan lokal Desa Pringgasela. Sebelum menikah, seorang gadis harus membuat sebuah tenunan untuk calon suaminya nanti.Â
Selembar kain yang menjadi lambang cinta dan kepatuhan. Dengan menenun, seorang wanita bisa membantu suaminya dalam mencukupi kebutuhan hidup. Namun di zaman sekarang ini hal tersebut sudah jarang atao bisa dikatakan tidak berlaku lagi.
 Kain tenun dari desa Pringgasela Lombok timur, merupakan salah satu budaya nasional yang memiliki keunikan tersendiri yang diajarkan turun temurun, semua bahan dari dari alam, bahkan untuk bahan pewarnaan juga memakai bahan-bahan dari alam. Kain tenun ini digunakan dalam kegiatan sosial maupun ritual.
Tenun Pringgasela ini diajarkan secara turun temurun hingga masih bertahan sampai saat ini pertama kali diperkenalkan oleh Lebae Nursini, seorang tokoh agam Islam yang datang dari Sulawesi untuk menyebarkan agama Islam di Desa Pringgasela.
Sambil mengajarkan agama Islam kepada penduduk Pringgasela, beliau mengajarkan cara bertani dan menenun sampai muncullah istilah Tenun Pringgasela. Kain tenun yang dibuat oleh Lebae Nursini masih tersimpan sebagai pusaka leluhur Desa Pringgasela yang disebut Reragian.Â
Peralatan untuk membuat kain tenun ini sangat sederhana, bahan baku utama adalah kayu. Alat untuk menenun namanya Gedogan, untuk membuat motif namanya Prane. Untuk pewarnaan digunakan bahan alam, warna coklat menggunakan kulit kayu, sedangkan warna hujau dan kuning menggunakan daun.Â
Beberapa motif tenun yang asli dari pringgasela yaitu, Belak Topat, Sakak, dan Sari Menanti. Lama pembuatan untuk menenun satu kain memakan waktu selama 1 bulan. Apabila tenun sudah jadi tenun tersebut dijualn dengan harga Rp.200.000 bahkan sampai jutaan per kainnya.
Semakin terkenalnya kain tenun ini banyak dari kalangan kelas menengah bahkan para disainer yang tertarik untuk berkarya menggunakan kain tenun ini. Dimulai dari pembuatan tas berbahan dasar kain tenun, sepatu, baju dan lain sebagainya.Â
Bahkan di desa saya ini pun masing-masing orang seakaan berlomba-lomba untuk membuat fashion sendiri dengan menggunakan kain tenun ini. Dimulai dengan membuat baju seragam, tas, mukena bahkan masker yang berbahan dasar kain tenun pringgasela.