Perempuan dan anak seolah mempunyai sebuah korelasi dan dianggap sebagai makhluk yang lemah. Salah satu permasalahan bangsa yang amat krusial adalah tingginya angka pelecehan seksual dan kekerasan terhadap keduanya. Terbukti dari tahun ke tahun terjadi kasus yang sama dengan jumlah yang relatif meningkat. Bak fenomena “gunung es”, jumlah kasus ini terus meningkat tajam.
Menurut CATAHU Tahun 2015 dari Komnas Perempuan menyebutkan bahwa terdapat 1.033 kasus perkosaan, 834 kasus pencabulan, 184 kasus pelecehan seksual, 74 kasus kekerasan seksual lain, 46 kasus melarikan anak perempuan dan 12 kasus percobaan perkosaan.
Sementara menurut CATAHU Tahun 2015 dari Komnas Perempuan tentang kekerasan terhadap perempuan di ranah personal mencapai 8.626 kasus, terdiri dari kekerasan terhadap istri (5.102 kasus atau 59%), kekerasan dalam pacaran (1.748 kasus atau 21%), kekerasan terhadap anak perempuan (843 kasus atau 10%), kekerasan dalam relasi personal lain (750 kasus atau 9%), kekerasan dari mantan pacar (63 kasus atau 1%), kekerasan dari mantan suami (53 kasus atau 0,7%) dan kekerasan terhadap pembantu rumah tangga (31 kasus atau 0,4%).
Sudah pasti hal ini membuat kita miris. Berbagai kasus yang menimpa perempuan kerapkali menjadi bahan tontonan dan disiarkan di media secara luas. Bukan hanya satu atau dua kasus. Rasanya dari hari ke hari, dari bulan ke bulan bahkan dari tahun ke tahun, kasus serupa semakin meningkat tajam.
Kita hanya bisa menghela nafas bahkan geram dengan para pelaku. Bayangkan saja, hampir setiap hari siaran televisi tak henti-hentinya menyiarkan kasus KDRT, kasus pemerkosaan atau bahkan kasus pembunuhan secara sadis. Dan lagi-lagi perempuanlah sebagai korbannya.
Lantas apa yang salah dengan perempuan? Mengapa ia dianggap sebagai makhluk yang lemah hingga sedemikian mudahnya dianiaya? Yang lebih mengherankan, kasus-kasus semacam ini “bak jamur tumbuh di musim hujan”. Satu kasus berhasil ditumpas, kasus lain bermunculan bahkan lebih banyak lagi.
Masih jelas tergambar dalam benak kita, beberapa kasus yang menyita perhatian, seperti seorang sekretaris muda yang meninggal karena dianiaya kekasihnya. Atau seorang ibu rumah tangga yang meninggal bersimbah darah di rumahnya, atau bahkan seorang wanita hamil yang tewas membusuk di rumah kontrakannya. Apalagi saat ini kasus poligami berujung pertikaian juga makin marak. Pernikahan siri yang menjadikan wanita sebagai pesakitan, dimana dia secara sepihak dicerai melalui telpon atau sms, sementara keberadaannya sudah dikucilkan oleh keluarganya karena ulahnya sendiri. Seolah hal ini menambah daftar panjang begitu lemahnya kedudukan perempuan di lingkungan masyarakat.
Sama halnya dengan kasus yang menimpa perempuan. Berbagai kasus yang dialami anak tak ubahnya menyerupai fenomena gunung es. Ia akan terus meningkat, seolah tak pernah bisa dihapuskan. Fenomena ini sungguh mengejutkan dimana laporan kekerasan anak pada tahun 2014 telah mencapai 2.726 kasus (menurut pemaparan Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait). Tentunya di tahun 2015 jumlah ini terus meningkat dengan kasus yang semakin komplek.
Masih segar dalam ingatan kita sederetan kasus pedofilia yang marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Katakanlah kasus pedofilia oleh “Emon” di Sukabumi, kasus pedofilia yang terjadi di TK Jakarta International School (JIS) atau bahkan kasus pedofilia yang juga terjadi di daerah lain. Inilah yang membuat anak-anak kita selalu merasa tidak aman dan nyaman hidup di lingkungannya. Keberadaannya seolah menjadi incaran kaum pedofil yang hanya ingin memuaskan nafsunya belaka.
Belum tuntas kasus pedofil, sederetan kasus lain juga bermunculan dan membuat kita kembali menatap nanar. Kasus mayat anak ditemukan dalam kardus. Kasus pembunuhan oleh kakak kandung sendiri, kasus pembunuhan anak oleh ibu tirinya, kasus pembunuhan anak oleh teman sekolahnya, sampai kasus pencabulan atau pemerkosaan.
Siapa dalang kasus yang menimpa perempuan dan anak?