Mohon tunggu...
Jejak Pena Yuni
Jejak Pena Yuni Mohon Tunggu... Penulis - Blogger, Buzzer, Culinary, Content Writer

Blogger, Buzzer, Culinary, Content Writer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keutuhan NKRI Dimulai dari Toleransi dan Kerukunan yang Terbina dalam Keluarga

23 Mei 2016   08:34 Diperbarui: 23 Mei 2016   08:48 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan dan anak seolah mempunyai sebuah korelasi dan dianggap sebagai makhluk yang lemah. Salah satu permasalahan bangsa yang amat krusial adalah tingginya angka pelecehan seksual dan kekerasan terhadap keduanya. Terbukti dari tahun ke tahun terjadi kasus yang sama dengan jumlah yang relatif meningkat. Bak fenomena “gunung es”, jumlah kasus ini terus meningkat tajam.

Menurut CATAHU Tahun 2015 dari Komnas Perempuan menyebutkan bahwa terdapat 1.033 kasus perkosaan, 834 kasus pencabulan, 184 kasus pelecehan seksual, 74 kasus kekerasan seksual lain, 46 kasus melarikan anak perempuan dan 12 kasus percobaan perkosaan.

Sementara menurut CATAHU Tahun 2015 dari Komnas Perempuan tentang kekerasan terhadap perempuan di ranah personal mencapai 8.626 kasus, terdiri dari kekerasan terhadap istri (5.102 kasus atau 59%), kekerasan dalam pacaran (1.748 kasus atau 21%), kekerasan terhadap anak perempuan (843 kasus atau 10%), kekerasan dalam relasi personal lain (750 kasus atau 9%), kekerasan dari mantan pacar (63 kasus atau 1%), kekerasan dari mantan suami (53 kasus atau 0,7%) dan kekerasan terhadap pembantu rumah tangga (31 kasus atau 0,4%).

Sudah pasti hal ini membuat kita miris. Berbagai kasus yang menimpa perempuan kerapkali menjadi bahan tontonan dan disiarkan di media secara luas. Bukan hanya satu atau dua kasus. Rasanya dari hari ke hari, dari bulan ke bulan bahkan dari tahun ke tahun, kasus serupa semakin meningkat tajam.

Kita hanya bisa menghela nafas bahkan geram dengan para pelaku. Bayangkan saja, hampir setiap hari siaran televisi tak henti-hentinya menyiarkan kasus KDRT, kasus pemerkosaan atau bahkan kasus pembunuhan secara sadis. Dan lagi-lagi perempuanlah sebagai korbannya.

Lantas apa yang salah dengan perempuan? Mengapa ia dianggap sebagai makhluk yang lemah hingga sedemikian mudahnya dianiaya? Yang lebih mengherankan, kasus-kasus semacam ini “bak jamur tumbuh di musim hujan”. Satu kasus berhasil ditumpas, kasus lain bermunculan bahkan lebih banyak lagi.

Masih jelas tergambar dalam benak kita, beberapa kasus yang menyita perhatian, seperti seorang sekretaris muda yang meninggal karena dianiaya kekasihnya. Atau seorang ibu rumah tangga yang meninggal bersimbah darah di rumahnya, atau bahkan seorang wanita hamil yang tewas membusuk di rumah kontrakannya. Apalagi saat ini kasus poligami berujung pertikaian juga makin marak. Pernikahan siri yang menjadikan wanita sebagai pesakitan, dimana dia secara sepihak dicerai melalui telpon atau sms, sementara keberadaannya sudah dikucilkan oleh keluarganya karena ulahnya sendiri. Seolah hal ini menambah daftar panjang begitu lemahnya kedudukan perempuan di lingkungan masyarakat.

Sama halnya dengan kasus yang menimpa perempuan. Berbagai kasus yang dialami anak tak ubahnya menyerupai fenomena gunung es. Ia akan terus meningkat, seolah tak pernah bisa dihapuskan. Fenomena ini sungguh mengejutkan dimana laporan kekerasan anak pada tahun 2014 telah mencapai 2.726 kasus (menurut pemaparan Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait). Tentunya di tahun 2015 jumlah ini terus meningkat dengan kasus yang semakin komplek.

Masih segar dalam ingatan kita sederetan kasus pedofilia yang marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia.  Katakanlah kasus pedofilia oleh “Emon” di Sukabumi, kasus pedofilia yang terjadi di TK Jakarta International School (JIS) atau bahkan kasus pedofilia yang juga terjadi di daerah lain. Inilah yang membuat anak-anak kita selalu merasa tidak aman dan nyaman hidup di lingkungannya. Keberadaannya seolah menjadi incaran kaum pedofil yang hanya ingin memuaskan nafsunya belaka.

Belum tuntas kasus pedofil, sederetan kasus lain juga bermunculan dan membuat kita kembali menatap nanar. Kasus mayat anak ditemukan dalam kardus. Kasus pembunuhan oleh kakak kandung sendiri, kasus pembunuhan anak oleh ibu tirinya, kasus pembunuhan anak oleh teman sekolahnya, sampai kasus pencabulan atau pemerkosaan.  

Siapa dalang kasus yang menimpa perempuan dan anak?

Menurut sumber di berbagai media, kasus yang terjadi pada perempuan masih didominasi oleh kekerasan dalam rumah tangga dan relasi personal, yaitu sebanyak 68 persen. Sedangkan 30 persennya masuk dalam kategori kekerasan dalam komunitas. Inilah yang menjadi sebuah indikasi bahwa rumah dan lingkungan tidak menjadikan perempuan merasa aman dan nyaman berada didalamnya.

Bahkan, 2 persen dari keseluruhan kasus yang terjadi pada perempuan termasuk kategori kekerasan yang dilakukan oleh negara. Lalu seperti apa contoh kasus ini? Beberapa diantaranya adalah kasus tes keperawasan polisi, kasus pekerja migran atau kasus larangan adopsi. Harusnya kasus-kasus semacam ini bisa ditangani dengan baik oleh negara.

Sejalan dengan kasus yang menimpa anak-anak, rumah dan lingkungan pun menjadi momok bagi mereka. Dari sinilah akhirnya dapat kita simpulkan bahwa berbagai kasus yang menimpa perempuan dan anak, baik kasus pelecehan seksual maupun tindak kriminal sebagian besar dilakukan oleh orang-orang terdekat korban.

Ada pacar, mantan pacar, suami, relasi kerja yang sakit hati atau bahkan murni unsur kriminalitas. Demikian juga dengan anak-anak. Akhir-akhir ini banyak terjadi kasus penganiayaan yang berujung kematian. Pelakunya tak lain adalah teman korban. Bahkan beberapa kasus penelantaran anak dan pembunuhan, ternyata pelakunya adalah orang tua kandung, kakak kandung, ibu tiri atau bahkan tetangga korban. Sungguh sangat ironi. Ini menandakan bahwa orang terdekat pun bisa menjadi pemicu timbulnya sebuah kasus yang menimpa perempuan dan anak.

Faktor penyebab timbulnya kasus pelecehan seksual dan kejahatan pada perempuan dan anak

Tidak ada kasus yang terjadi bila tidak ada penyebabnya. Seorang perampok akan nekat melakukan perampokan karena ia melihat sesuatu yang menggiurkan. Semisal, perhiasan yang melekat dalam tubuh perempuan yang terlihat mencolok atau rumah mewah dengan segala pernak-perniknya terpapar didepan mata. Sudah barang tentu, insting perampok pun akan jalan, ia tergerak hatinya untuk segera melancarkan aksinya.

Demikian halnya kasus yang terjadi pada perempuan dan anak. Adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tentunya dimulai dari cekcok suami istri. Bila masing-masing pihak tidak lekas sadar diri, melainkan larut dalam emosinya tentunya bisa berakibat kurang bagus. Begitupun dengan kasus pembunuhan yang menimpa seorang ibu rumah tangga. Meski pelaku berdalih tidak sengaja melakukan dan hanya ingin merampok harta korban, setidaknya harta inilah menjadi penyebabnya.

Jaman dulu, kasus pelecehan seksual, pemerkosaan bahkan pembunuhan disebabkan oleh dandanan perempuan yang mengundang nafsu lawan jenis, seperti berpakaian yang kurang senonoh. Namun untuk saat ini bukan hanya perempuan berpenampilan buka-bukaan saja yang menjadi korban, perempuan berbusana rapi atau bahkan nenek-nenek sekalipun kerapkali jadi korban pelecehan seksual.

Bahkan anak perempuan yang masih kecil juga sering menjadi sasaran pelecehan seksual. Kalau dipikir, mereka masih kecil, tentu belum terlihat menarik dimata lawan jenis. Namun mengapa harus ikut menjadi korban? Inilah yang dinamakan krisis moral. Manusia sudah tidak bisa berpikir secara manusiawi, mereka lebih mengedepankan ego dan hawa nafsu. Tidak pernah memikirkan akibat, yang penting nafsunya terpuaskan.

Dari berbagai fakta tentang kasus yang terjadi, penyebab timbulnya kasus yang menimpa perempuan dan anak bisa jadi karena hal-hal dibawah ini:

  • Tingkat emosional yang tinggi. Emosi bisa berujung pada percekcokan dan kekerasan. Hendaknya saling instropeksi diri agar emosi bisa diredam.
  • Kecenderungan wanita suka pamer. Wanita memang suka dipuji, ia seringkali lupa memperlihatkan semua yang dimilikinya, padahal hal ini bisa mengundang kejahatan.
  • Kurang menjaga perkataan. Orang yang seringkali berbicara kasar, bahkan tanpa sengaja menyakiti hati lawan bicara bisa juga mengundang kejahatan.
  • Kurang bersyukur. Dalam sebuah keluarga memang harus saling terbuka dan menerima kekurangan atau kelebihan satu sama lain. Rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah bisa menjadi senjata untuk meredam adanya kekerasan dalam rumah tangga.
  • Mengadopsi budaya barat. Masih adanya perubahan cara pandang perempuan Indonesia yang lebih condong ke barat, sehingga mereka cenderung mengikuti peradaban budaya barat. Inipun bisa menjadi pemicu timbulnya kasus pelecehan seksual.
  • Maraknya situs porno yang beredar secara bebas. Meski pemerintah sudah berupaya menghapus situs-situs ini, namun agaknya susah diberantas sampai tuntas. Satu dihapus maka akan tumbuh ratusan situs porno yang demikian mudahnya diakses oleh jutaan manusia dari segala umur.
  • Dampak buruk teknologi modern. Saat ini hampir semua masyarakat mempunyai gadget, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Memang disatu sisi adanya gadget mempunyai banyak manfaat, namun kita tidak sadar bahwa gadget dapat membuat anak-anak meniru hal-hal yang kurang baik, seperti kasus bullying, pengeroyokan, adu jotos, semua berawal karena anak-anak tengah memeragakan berbagai aksi yang mereka lihat di game online.
  • Kurangnya perhatian dari orang tua. Masih banyak orang tua yang salah dalam mendidik, tidak begitu memperhatikan keseharian anak atau bahkan membiarkan melakukan segala hal diluar tanggung jawab orang tua. Padahal kewajiban orang tua selain mencukupi kebutuhan anak juga mendampinginya dalam berbagai kegiatan. Bila anak kurang mendapat perhatian, inilah yang menjadi salah satu faktor terjadinya kasus yang menimpa anak-anak.

Lingkungan sekitar abai terhadap kasus yang terjadi

Harusnya kita bangga hidup di jaman yang serba modern, dimana semua pekerjaan dengan mudah dapat terselesaikan dengan dibantu peralatan yang serba canggih. Namun rupanya kehidupan masyarakatnya tidak serta merta makin membaik. Dampak semakin majunya teknologi, ternyata membuat sifat individualisme makin tinggi. Kita tidak perlu heran bila dengan tetangga sendiri tidak saling kenal, karena kita memang tidak mau mengenal mereka dengan berbagai alasan. Mungkin sibuk dengan urusan sendiri, tidak membutuhkan mereka dan sebagainya.

Kerapkali kita mendengar cerita tentang “jlambret”, yaitu seseorang yang mengambil paksa milik orang lain. Kasus jlambret pun seringkali terjadi di perkampungan padat penduduk namun nampak sepi penghuni, sehingga pelaku sangat leluasa melakukan aksinya. Ini menandakan bahwa individualisme di lingkungan masyarakat kita kian menjadi.

Bukan hanya itu, seorang anak yang tiba-tiba dihentikan oleh segerombolan anak-anak, lalu ia dimintai uang, itupun juga sering terdengar. Atau bahkan, seorang anak yang terlihat baik-baik saja di rumah, menjadi anak yang santun dan hormat pada orang tuanya, tiba-tiba terdengar beringas diluar rumah, juga kerap terdengar. Ironisnya, orang-orang disekeliling kejadian seolah hanya menjadi penonton yang ikut bertepuk tangan tanpa berbuat apapun. Sungguh amat disayangkan.

Ya...sikap individualisme tengah bergelanyut dalam diri masyarakat kita. Mereka cenderung abai dan masa bodoh dengan keadaan sekitar. Sampai-sampai kejadian yang merenggut orang-orang di sekitarnya luput dari perhatian. Bahkan dengan gampangnya mereka mengatakan “tidak tahu” atau bukan urusannya.

Bila hal-hal diatas dibiarkan berkecamuk dalam diri masyarakat dan lingkungan kehidupannya, niscaya kasus yang menimpa perempuan dan anak-anak selamanya akan sulit terselesaikan. Salah satu upaya mengurangi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak harus diawali dari lingkungan keluarga. Keluargalah yang menjadi pondasi awal terbinanya toleransi dan kerukunan hidup berbangsa dan bernegara. Lantas seperti apa membina sebuah hubungan baik dalam keluarga?

Keutuhan NKRI dimulai dari toleransi dan kerukunan dalam keluarga

Lingkungan pertama yang menjadi pondasi kokohnya sebuah hubungan adalah keluarga. Meski awal terbentuknya sebuah keluarga berangkat dari perbedaan, setidaknya keluargalah yang menyatukan perbedaan itu menjadi ikatan yang kuat. Disinilah toleransi dan kerukunan masing-masing anggota keluarga harus ditegakkan.

Sikap saling menerima kelebihan dan kekurangan pasangan, sikap menerima takdir yang melingkupi kehidupannya, bersyukur atas nikmat dan rezeki yang diterimanya, menjadi rentetan terbentuknya kerukunan dalam keluarga. Ditambah dengan sikap saling percaya satu sama lain, terbuka dengan pasangan, saling menghormati dan menghargai, tentunya membawa hubungan makin harmonis.

Meski percekcokan atau silang pendapat dalam keluarga mungkin saja terjadi, namun jangan sampai terbawa dalam emosi. Berpikir secara jernih dan bijak, mengambil jalan keluar dengan hati-hati, tentunya menjadi solusi yang tepat untuk keluar dari permasalahan keluarga.

Adanya kasus perselingkuhan, poligami atau bahkan KDRT, merupakan sebuah bukti tidak adanya keterbukaan dalam keluarga. Istri yang selalu menuntut lebih kepada suaminya, sehingga ia terlihat membosankan dimata suaminya. Atau suami yang sering menyembunyikan sesuatu dari istrinya, sehingga ia menganggap dialah yang berkuasa, bisa menjadi pemicu retaknya hubungan dalam keluarga.

Bahkan, masalah ekonomi kerapkali menjadi pemicu konflik dalam keluarga. Suami yang tidak transparan memberikan gajinya kepada istri, sementara istri hanya bisa menuntut kepada suaminya. Ini bukan berarti bahwa pasangan yang sama-sama bekerja dan berpenghasilan kehidupan keluarganya lebih terjamin dibanding pasangan yang hanya bergantung pada satu sumber penghasilan. Keharmonisan keluarga terletak pada seberapa besar sebuah pasangan menerima dan mensyukuri kehidupan yang melingkupinya.

Hal yang lebih penting dalam keluarga adalah tanggung jawab terhadap anak. Anak adalah amanah yang harus dijaga dan diperhatikan. Sedangkan pengasuhan anak bukan hanya dibebankan pada salah satu orang tua, melainkan keduanya. Itulah sebabnya mengapa anak merasa sangat nyaman hidup ditengah-tengah keluarga yang bahagia, dimana kedua orang tuanya selalu berada didekatnya setiap saat.

Namun bukan lantas orang tua tidak bekerja demi menemani anak. Bekerja ataupun tidak adalah sebuah pilihan. Demikian juga dengan pilihan menjadi ibu rumah tangga. Tentunya tak ada yang salah ketika seorang perempuan memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Baik ibu rumah tangga maupun wanita karier, tentunya masing-masing mempunyai komitmen. Salah satunya adalah tanggung jawab mengasuh anak.

Tanggung jawab orang tua terhadap anak bukan hanya sebatas memandikan atau mengganti baju sewaktu kecil, memberi makan atau menyekolahkan. Namun lebih dari itu, orang tua harus mampu membimbing anak untuk melakukan hal-hal yang baik, membekali ilmu agama dan pengetahuan serta memberinya kasih sayang.

Sayang, masih banyak orang tua yang kurang paham arti sayang terhadap anak. Mereka membiarkan diperbudak oleh anak tanpa memberikan arahan yang baik. Anak dibiarkan bermain gadget atau bermain bersama teman-temannya, sementara waktu telah menunjukkan saatnya anak melaksanakan ibadah keagamaan. Yang lebih memprihatinkan, orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk mengendarai sepeda motor, meski belum mempunyai SIM.

Saya rasa, menunjukkan rasa sayang terhadap anak bukan berarti menuruti segala kemauannya. Ada baiknya orang tua bersikap mengayomi dan berusaha menjadi teman bagi anak-anak. Niscaya mereka akan merasa dekat dengan orang tua dan berusaha bersikap terbuka dengannya.

Memperlakukan anak memang gampang-gampang susah. Tidak boleh bersikap kasar atau terlalu lunak. Kita boleh kasar bila sang anak melakukan hal-hal yang menyimpang, dengan tujuan agar ia tidak mengulanginya lagi. Namun bukan berarti kita memaksakan kehendak kepada anak untuk berbuat sesuai kemauan kita. Anak bukan robot yang siap kita perintah. Demikian juga sebaliknya. Janganlah terlalu lunak kepada anak, yang menjadikan anak sebagai pribadi yang manja dan tidak mandiri.

Terus terang, saya sendiri telah merasakan kehidupan yang nyaman dalam keluarga saya. Saya hanyalah seorang ibu rumah tangga yang selalu mengikuti kemana suami berdinas. Bagi saya keutuhan keluarga sangatlah penting. Awalnya keputusan menjadi ibu rumah tangga adalah keputusan terberat dalam hidup saya, karena saya harus menanggalkan ijazah saya. Namun seiring berjalannya waktu, saya bisa menepis anggapan yang salah tentang ibu rumah tangga. Senyatanya saya sangat menikmati peran menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga.

Sejauh ini kami saling terbuka dan percaya. Meski keuangan kami hanya bersumber dari penghasilan suami, namun kami selalu bersyukur dan merasa cukup. Suami selalu terbuka dalam hal keuangan. Bukan hanya itu, hal-hal lain yang sekiranya menjadi beban suami, seringkali kami pecahkan bersama. Hingga kamipun merasa tak ada lagi yang perlu ditutupi.

Bahkan, kami juga berusaha mengasuh anak dengan baik, tanpa bantuan seorang pembantu atau baby sitter. Meski suami sibuk bekerja, bukan lantas tanggung jawab pengasuhan anak dibebankan kepada saya. Ada saat tertentu dimana kami bersama-sama mengasuh anak. Namun demikian saya tidak bertindak diktator kepada anak. Dengan segenap kemampuan saya, sayapun berusaha mendidik anak sebaik mungkin. Utamanya ilmu agama, selalu saya terapkan dalam sendi-sendi kehidupan kami.

Meski saya bukanlah seorang ibu yang sempurna, setidaknya saya selalu mendampingi anak, dan mengajarkannya menjadi anak yang jujur dan terbuka. Saya pun bersyukur karena anak saya tumbuh menjadi pribadi yang jujur dan terbuka. Setiap permasalahan yang dihadapinya, selalu diceritakannya dengan lengkap dan jelas.

Jadi, menurut pandangan saya, untuk menekan kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi pada perempuan dan anak, dapat dimulai dari lingkungan keluarga. Membina keluarga yang baik, menciptakan toleransi dan kerukunan dalam sebuah keluarga tentunya dapat mewujudkan keutuhan NKRI. Lantas bagaimana caranya? Berikut ini tip-tipnya:

  • Saling percaya, menghargai dan menghormati antar pasangan.
  • Saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing pasangan.
  • Menerima kehidupan yang melingkupi dengan ikhlas dan memperjuangkan keberkahannya.
  • Selalu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan.
  • Bersama-sama membangun rumah tangga dilandasi iman dan taqwa.
  • Bersama-sama mendidik anak dan memberikan kasih sayang yang utuh.
  • Jangan keliru memberikan kasih sayang. Memberikan kasih sayang yang utuh bukan berarti memanjakannya.
  • Bimbing dan arahkan anak, bekali dengan ilmu agama yang kuat serta ilmu pengetahuan yang baik.
  • Dampingi anak dalam lingkungan pergaulannya, jangan terlalu mengekang tetapi arahkan menuju kebaikan. Tunjukkan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan.
  • Buatlah anak merasa nyaman berada disamping kita, agar ia menjadi pribadi yang jujur dan terbuka.
  • Jangan menjadi orang tua yang diktator sehingga anak takut atau segan terhadap kita.
  • Buatlah anak nyaman dan menganggap kita sebagai teman berkeluh kesah.
  • Jalin komunikasi yang lebih akrab dengan seluruh anggota keluarga.

Dengan menerapkan tip-tip diatas, niscaya perempuan dan anak tidak lagi dipandang sebagai makhluk yang lemah, karena keharmonisan yang tercipta dalam lingkungan keluarga telah melindungi mereka dari kejahatan yang mengintai baik dari dalam maupun dari luar lingkungan mereka tinggal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun