Harusnya kita bangga hidup di jaman yang serba modern, dimana semua pekerjaan dengan mudah dapat terselesaikan dengan dibantu peralatan yang serba canggih. Namun rupanya kehidupan masyarakatnya tidak serta merta makin membaik. Dampak semakin majunya teknologi, ternyata membuat sifat individualisme makin tinggi. Kita tidak perlu heran bila dengan tetangga sendiri tidak saling kenal, karena kita memang tidak mau mengenal mereka dengan berbagai alasan. Mungkin sibuk dengan urusan sendiri, tidak membutuhkan mereka dan sebagainya.
Kerapkali kita mendengar cerita tentang “jlambret”, yaitu seseorang yang mengambil paksa milik orang lain. Kasus jlambret pun seringkali terjadi di perkampungan padat penduduk namun nampak sepi penghuni, sehingga pelaku sangat leluasa melakukan aksinya. Ini menandakan bahwa individualisme di lingkungan masyarakat kita kian menjadi.
Bukan hanya itu, seorang anak yang tiba-tiba dihentikan oleh segerombolan anak-anak, lalu ia dimintai uang, itupun juga sering terdengar. Atau bahkan, seorang anak yang terlihat baik-baik saja di rumah, menjadi anak yang santun dan hormat pada orang tuanya, tiba-tiba terdengar beringas diluar rumah, juga kerap terdengar. Ironisnya, orang-orang disekeliling kejadian seolah hanya menjadi penonton yang ikut bertepuk tangan tanpa berbuat apapun. Sungguh amat disayangkan.
Ya...sikap individualisme tengah bergelanyut dalam diri masyarakat kita. Mereka cenderung abai dan masa bodoh dengan keadaan sekitar. Sampai-sampai kejadian yang merenggut orang-orang di sekitarnya luput dari perhatian. Bahkan dengan gampangnya mereka mengatakan “tidak tahu” atau bukan urusannya.
Bila hal-hal diatas dibiarkan berkecamuk dalam diri masyarakat dan lingkungan kehidupannya, niscaya kasus yang menimpa perempuan dan anak-anak selamanya akan sulit terselesaikan. Salah satu upaya mengurangi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak harus diawali dari lingkungan keluarga. Keluargalah yang menjadi pondasi awal terbinanya toleransi dan kerukunan hidup berbangsa dan bernegara. Lantas seperti apa membina sebuah hubungan baik dalam keluarga?
Keutuhan NKRI dimulai dari toleransi dan kerukunan dalam keluarga
Lingkungan pertama yang menjadi pondasi kokohnya sebuah hubungan adalah keluarga. Meski awal terbentuknya sebuah keluarga berangkat dari perbedaan, setidaknya keluargalah yang menyatukan perbedaan itu menjadi ikatan yang kuat. Disinilah toleransi dan kerukunan masing-masing anggota keluarga harus ditegakkan.
Sikap saling menerima kelebihan dan kekurangan pasangan, sikap menerima takdir yang melingkupi kehidupannya, bersyukur atas nikmat dan rezeki yang diterimanya, menjadi rentetan terbentuknya kerukunan dalam keluarga. Ditambah dengan sikap saling percaya satu sama lain, terbuka dengan pasangan, saling menghormati dan menghargai, tentunya membawa hubungan makin harmonis.
Meski percekcokan atau silang pendapat dalam keluarga mungkin saja terjadi, namun jangan sampai terbawa dalam emosi. Berpikir secara jernih dan bijak, mengambil jalan keluar dengan hati-hati, tentunya menjadi solusi yang tepat untuk keluar dari permasalahan keluarga.
Adanya kasus perselingkuhan, poligami atau bahkan KDRT, merupakan sebuah bukti tidak adanya keterbukaan dalam keluarga. Istri yang selalu menuntut lebih kepada suaminya, sehingga ia terlihat membosankan dimata suaminya. Atau suami yang sering menyembunyikan sesuatu dari istrinya, sehingga ia menganggap dialah yang berkuasa, bisa menjadi pemicu retaknya hubungan dalam keluarga.
Bahkan, masalah ekonomi kerapkali menjadi pemicu konflik dalam keluarga. Suami yang tidak transparan memberikan gajinya kepada istri, sementara istri hanya bisa menuntut kepada suaminya. Ini bukan berarti bahwa pasangan yang sama-sama bekerja dan berpenghasilan kehidupan keluarganya lebih terjamin dibanding pasangan yang hanya bergantung pada satu sumber penghasilan. Keharmonisan keluarga terletak pada seberapa besar sebuah pasangan menerima dan mensyukuri kehidupan yang melingkupinya.