Mohon tunggu...
Yuni Fitria
Yuni Fitria Mohon Tunggu... -

BNI 46 Batch 77

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cita-cita versus Kewajaran

29 Desember 2009   21:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:43 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ketika satu tahun yang lalu, 10 orang ditanya tentang cita-cita mereka.
keberhasilan, kemapanan, kebahagiaan, ataupun kenyamanan dengan sendirinya menjadi khayalan yang tak terbantahkan.
siapapun orangnya, apapun profesinya, tidak akan pernah menginginkan kemelaratan, kemiskinan, ketidakberdayaan ataupun kesedihan dalam hal ini.

dengan pertanyaan yang sama, 6 bulan berikutnya, 9 orang diantaranya telah berdamai pada cita-cita mereka sendiri.
mengendurkan sedikit semangat dan mulai membuat 'cita-cita cadangan',
kamuflase dari sikap 'yang penting punya cita-cita'.

mereka ini adalah tipe manusia yang (sedikit) rasional dengan melihat beberapa kemungkinan yangtersisa. mereka memiliki pemikiran bahwa proses menuju cita-cita telah setengah jalan dan saatnya untuk berbaikan dengan kenyataan bahwa cita-cita tidak bisa dipaksakan. begitulah katanya.

Satu orang yang tersisa.

mendengarkan asumsi beberapa temannya dalam diam.
sesekali tersenyum dengan mata berbinar, penuh semangat.
seperti orang yang baru menang lotre atau seperti anak gadis yang baru mendapatkan izin berkencan. jika kau pernah menjadi salah satunya, begitulah kira-kira kelihatannya.

orang ini masih mengingkan cita-cita yang sama seperti 6 bulan yang lalu.
cita-cita yang sempurna tanpa mau bernegosiasi dengan keadaan untuk sedikit saja menurunkan 'standart' cita-citanya itu.
saya mulai berasumsi bahwa orang ini tentunya memiliki modal percaya diri yang tinggi dan terkesan angkuh. mungkin.

sedikitpun tidak ada keraguan dengan cita-citanya yang masih itu-itu saja.
dengan gaya bicara yang lugas, yakin, percaya diri, sedikit narsis, dia hanya berkata seperti ini:

'cita-cita sama dengan khayalan bersinonim dengan ketidakpastian dan maknanya dekat sekali dengan kata pengharapan. saya tidak mau berhenti pada proses pencapaiannya sebelum cita-cita teruji. lebih tepatnya sebelum cita-cita menemui titik akhir dan berubah menjadi realita. saya hanya perlu meyakini diri sendiri bahwa saya bisa. itu saja'.

berselang 6 bulan berikutnya,

kesepuluh orang tadi mendapat pertanyaan mengenai tingkat keberhasilan cita-cita mereka satu tahun yang lalu.
semuanya menjawab sama.
mereka (semua) berhasil meraih cita-cita yang diinginkan.
cita-cita yang mereka pikirkan siang dan malam.
hanya saja sekarang cara penyambutan cita-cita terbagi 2 'cita-cita cadangan' dan cita-cita utama'.
dan inilah yang membuat satu orang berbeda dengan kesembilan orang lainnya.

9 orang menyambut 'cita-cita cadangan' mereka dengan senyum simpul yang menggambarkan kepasrahan (setidaknya mereka mendapatkan cita-cita sesuai dengan yang pernah diinginkan).
sedangkan satu orang lagi menyambut 'cita-cita utama' nya dengan senyum dua jari.

mana yang lebih kau sukai?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun