Mohon tunggu...
Boarneges
Boarneges Mohon Tunggu... Profesional -

"Tidak-kah kita merasa kehilangan orang-orang yang selama ini kita andalkan? mari kita melawan lupa,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sebuah Ketika, Atas Nama 'Kemanusiaan' dan 'Keadilan'

25 Februari 2017   03:06 Diperbarui: 25 Februari 2017   03:35 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika kita sedang menyampaikan protes tentang kebijakan Trump di Amerika Serikat, atas nama 'kemanusiaan' segenap kita menyampaikan sikap. Tapi kita menutup mata atas gelaran aksi menyemen kaki di depan Istana Negara, setelah berjalan 114 kilometer untuk menuntut Presiden Joko Widodo membatalkan pembangunan pabrik semen yang akan mengeksploitasi pegunungan Kedeng, dimana kehidupan dan lingkungan terancam kehancuran. Ketika tenda perjuangan Tolak Pabrik Semen dibakar akhir-akhir ini,  kita pura-pura lugu dan masih berdiam diri. Hanya asik terlibat pada Nota Keberatan 'dunia' lain. Mungkin ada benarnya, tapi jika ketika bumi dan rakyat sedang ditindas, dimana sisi 'kemanusiaan' dan keadilan yang disikapi itu?. Apakah hanya berlaku atas sikap Trump? dan tidak berlaku atas Pabrik Semen yang menindas itu?.

Ketika seorang mahasiswi manis yang sedang galau dengan aksi pungli di kampusnya, sebuah Perguruan Tinggi swasta di Sumatera Utara. Ia adalah seorang saudari yang kita sebut 'kader', kita memanggilnya 'bing', atau sebutan 'ketua', sedang berontak dengan liar di akun media sosialnya karena ketidakadilan yang menimpanya bersama dengan rekan senasibnya. Kita hanya memberikan 'like' tanpa ada sebuah advokasi atau mungkin sedikit perhatian nyata sebagai sebuah sikap. Kita hanya membiarkannya sendirian dan asik men-share dokumentasi hasil pertemuan dengan KPK dengan tagline Kerjasama Pemberantasan Korupsi. 

Ketika seorang 'ketua', begitulah biasa aku memanggilnya ketika berbagi kabar, sedang berjuang untuk pendidikan yang layak di tanah Papua. Ia harusnya menjadi inspirasi dan disisi lain menjadi sebuah pertanyaan telak yang mungkin tak ia tanyakan, mana sikapmu nyatamu? Mungkin kita juga membiarkannya sendirian, meskipun ia tak merasa sendiri. Sikap kita hanya tentang Freeport dengan sebuah pernyataan sikap yang di-share oleh berbagai akun media sosial para 'kader' yang jarang membaca dan menganalisa, hanya sekedar share.  Mungkin ada baiknya, tapi apakah hanya sekedar 'pernyataan sikap'?. Pernyataan tanpa tindakan dan sikap nyata, apalah arti itu disebarkan?. 

Ketika seorang perempuan penulis dan penikmat puisi sedang susah tidur dan harus minum kopi. Diksi di setiap kalimatnya kuat dan dalam. Mengalahkan pajangan 'pamer' pemilik akun yang telah menonton Film 'Istirahatlah Kata-Kata', entahkah ia sudah membaca puisi-puisi Wiji Thukul, atau hanya mengutip beberapa kalimat puitis menjadi penghias wall media sosial, tanpa mencermati dan mendalami kekuatan semangat dan perjuangan di dalamnya. Ketika seorang pria baik dan manis sedang bermandi lumpur menjalani jalanan berbatu menuju sebuah desa untuk menyuluh masyarakat disana. Ia terbanting dijalanan dengan kulit sedikit sobek, dan semakin sobek ketika ia membaca status guru muda yang sedang deman dengan bintang korea setelah membuat hastag #SavePancasila.

Ketika kondisi perpolitikan sedang menghitam, ketika Pancasila sedang digerus oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, ketika seorang putra terbaik negeri ini sedang didera fitnah, ketika korupsi merajalela, ketika ketidakadilan menggoyahkan takhta kebenaran, apa sikap kita? Aku melihat jelas, sebuah postingan foto 'kurap' yang diposting seorang 'bung' dengan pertanyaan 'mengapa kulitku gatal dan berubah warna menjadi ungu? Bahkan ia tidak tahu bagaimana membersihkan dirinya dengan mandi yang bersih. Aku membaca berbagai postingan status galau karena belum dilamar, galau karena masih jomblo, galau karena doi belum membalas pesannya, dan itu berlangsung beberapa menit sebelum atau sesuah share 'pernyataan sikap' di atas. Lantas sebenarnya apa yang sedang kita pikirkan ketika mengisi kotak pertanyaan 'Apa yang sedang anda pikirkan saat ini?.

Ketika sebuah 'rumah' besar pergerakan dibangun untuk sebuah perjuangan dan pengabdian, totalitas adalah mencintai yang sebenarnya. Bukan hanya sebuah identitas semu dalam ikatan persaudaraan tanpa makna. Bukan hanya sekedar belajar dari sebuah dinamika internal yang hanya mempersoalkan aturan dalam memilih 'siapa kepala kamar', atau 'teknik mencunci piring', atau teknik 'menyapu lantai'. Tapi mencintai sebuah tujuan untuk kesejahteraan seisi rumah, sebagai pemilik. Karena dalam kehidupan, bukan soal sebarapa capaian, tapi sebarapa tindakan bermanfaat bagi semua orang. Karena yang dikenang bukan sebarapa banyak kita mencapai, tapi sebarapa banyak kita bertindak.

Kita adalah kau dan aku. Kita yang ketika aku memikirkannya harus meneguk kopi beberapa gelas. Karena gelisah menjadi sahabat dalam berbagai rupa dan mengusik dengan sebuah pertanyaan : 'Apa sikapmu?' Lalu aku mencari 'anak babi', atau 'ikan', atau 'duduk disamping pejabat negara' untuk difotoi. Ini sikapmu? Mungkin aku harus mencari panuatau kudisuntuk difotoi sebagai bentuk jawaban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun