Mohon tunggu...
Boarneges
Boarneges Mohon Tunggu... Profesional -

"Tidak-kah kita merasa kehilangan orang-orang yang selama ini kita andalkan? mari kita melawan lupa,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bung, Kapan Terakhir Kita Ngopi Bareng?

22 Januari 2016   00:43 Diperbarui: 23 Januari 2016   20:16 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam setiap tindakan, orang lain akan memandang, melihat, mencermati dan menilai kualitas kita. Itulah “Pakailah ilmu padi, Boar. Makin berisi makin merunduk, jangan berkoar-koar saja, ndak jelas juga kedengaran, ndak jelas juga maksudnya, ndak ada juga isinya, asal berucap saja, tong kosong!” ucap seorang senior padaku di suatu waktu. Entah mengapa aku teringat kalimat ini selalu, setiap kali berhadapan dengan status-status lebay di jejaring sosial yang dirangkai manis oleh  manusia-manusia berlabel “anak gerakan.”

“Jangan suka memaki orang lewat tulisanmu anak muda, bahasamu halus tapi banyak kurangngajar juga.” Dia tertawa sembari membaca lekat koran di genggamannya. Mungkin ada tulisanku disana, mungkin dia sedang membacanya. “Orang melihat kita, membaca kita dari apa yang kita keluarkan dan mereka mencerna menjadi sebuah penilaian. Selagi kamu mencantumkan nama organisasi ini di akhir tulisanmu sebagai identitas, maka orang ndak akan hanya melihat dirimu, tetapi juga melihat tempat dimana kau bernaung, yaitu yang kau cantumkan ini, dan sangat ndak baik sekalaunya dalam tulisanmu ini penuh maki-maki, entah kenapa juga koran ini mau memuatnya. Ah, sama sajalah kalian ini.” Aku tertawa sesaat, lalu tertegun mencermati setiap kalimatnya. Ada benarnya juga.

“Kalian ini pengecut. Sarjana kanak-kanak yang pengecut! Betapa lemahnya kalian. Ah, parah sekali, betapa alai-nya.” Tepat tengah malam, ketika kami masih berdiskusi di terasnya rumahnya. Teras yang menjadi tempat terfavorit untuk berdiskusi mengalahkan tempat tongkrongan lainnya yang di batas oleh jam makan, harus makan, harus minum, dan harus yang lainnya untuk bisa duduk di tempat itu. Untuk situasi sekarang ini, teras rumah itu di kalangan kami mengalahkan “Starbucks”, bagaimana tidak, ini adalah teras gratis dengan kopi dan gorengan gratis yang selalu disuplay oleh sang senior yang barusan mencak-mencak menghampiri kami yang sedang bergosip.

“Sejak kapan facebook menjadi meja perundingan bagi kalian! Saling menelanjangi satu sama lain. Saling menjatuhkan, saling menyikut, saling menyerang. Anak muda cengeng. Macam betul sajalah kalian ini. Pengecut banget, beraninya Cuma di dunia maya. Ah, ndak jelas pula kalian ini anak muda.” Dia mengujar keras sembari berlalu ke dalam rumah meninggalkan kami yang terdiam dengan mulut terbuka.  Wajahnya tampak kecewa, ada kesal yang membara disana. Wajah yang membuat kami enggan untuk mengambil gorengan yang masih tersisa. Kami lirik-lirikan satu sama lain, lalu menyahut pamit pulang. Bubar pelan-pelan. Betapa pengecutnya bukan?.

Aku terdiam sesampai di rumah. Mencermati setiap kalimat-kalimat wejangannya sembari menjilati sisa ampas kopi yang masih menempel di bibir. Wejangan yang terkadang kasar. Tapi banyak benarnya. Banyak menyadarkan. Sejak kapan kami sepengecut ini? Tidak berani bertatap muka satu sama lain, beraninya hanya di dunia maya, di facebook, mengobral permasalahan disana, menghujat satu sama lain, seakan-akan kita haus perhatian, haus kepedulian, anak terlantar yang harus mengumbar betapa telanjangnya sesamanya, sementara ia pun telanjang. Apa tidak lebih baik kita duduk bersama, berdiskusi bersama, berdebat bersama di sebuah meja persegi, mungkin saja juga meja bulat, dimana kami bisa saling berdebat dan terbuka. Tidak mengumbarnya di dinding media sosial ini lalu membuka jalur orang lain untuk mempertanyakan kita, bahkan meledek kita, tanpa kita sadari. Ketika kita merasa hebat, di belakang ada banyak yang sedang menertawakan kita. Betapa memalukan bukan? Bahkan sangat memalukan! Masihkah kita ingin merasa sok hebat?

“Jangan pernah bicarakan bagaimana kita membangun tempat kita bernaung, kalau menyapaku saja kau enggan. Bukankah itu sudah sangat melanggar amsal kita. Ah, ntar kau bilang pula aku terlalu konstitusional. Tapi memang begitulah adanya. Bagaimana bisa kita melangkah maju, kalau perseberangan pemikiran menjadi medan perang, lucunya perang di media sosial pula. Bencong bangetlah kita ini, bung.” Ujarku tertawa, setelah memberanikan diri mengajak salah satu pihak oposisi yang selama ini menjadi jonru untuk ngopi bersama. Sejak kapan kami jadi oposisi? Lalu saya berkoalisi dengan siapa? Aku tak mengerti jawabannya, aku hanya merasa saja, merasa bahwa kami sedang terlibat dalam politik pragmatis yang bahkan kami tidak tahu apa itu artinya. Kami tidak tahu arahnya. Mementingkan kepentingan kami sesaat saja. Sekejap saja kami mengecap.

“Entah mau kita arahkan kemana semua ini. Terlalu rendah kalau kita memecah persaudaraan yang menghidupkan itu hanya karena perbedaan pilihan, hanya gara-gara perbedaan pandangan politik, macam yang sudah elit sajalah kita ini bagaimana menurutmu, lae?” ia melirikku dengan wajah malu. Aku tersenyum.

“Orang lagi sedang sibuk-sibuknya dengan MEA, teroris sarinah, freeport, sibuk menjawab pertanyaan : Apa yang akan kita lakukan untuk Indonesia? Berbenah dan berbuat. Semua itu tidak cukup dengan berdiskusi saja, bukankah kau mengatakan itu dulunya padaku. Sementara kita ini? Masih saja saling menghujat, menjadi pembenaran tanpa kebenaran, di media sosial pula itu, bagaimana kita bisa membangun negeri ini, lae?” Dia tertawa terbahak, lalu diam sejenak dan menghirup kopinya pelan. Aku memperhatikannya. Ada banyak perjalanan yang telah terlalui bersama, kenapa pula kami harus melewati persebarangan ini. lalu kami menyebutnya dengan dinamika, “ini adalah dinamika, itu biasa,” bagaimana bisa? Membiasakan dinamika dimana kita saling menghujat satu sama lain? Lalu menghakimi “saudara” tersebut dengan kesalahannya, seakan itu sesuatu yang tak terampuni. Menyimpannya sebagai sebuah bom waktu yang daya ledaknya lebih besar dari teror di Jalan Thamrin untuk suatu waktu kita ledakan. Bisa jadi kita teroris juga, meskipun bukan dengan sebutan yang sama, tapi sikapnya tak jauh beda.

“Kapan terakhir kali kita ngopi bareng?” tanyaku tiba-tiba.

“Kapan ya, lae? Kalau tak salah ketika kita berdiskusi di warung sore, waktu itu sedang membicarakan gadis manis dari daerah seberang yang sedang menyinggah di base. Mana mungkin kita meluputkan kesempatan itu.” Dia tertawa mengingat waktu itu. Mengenang kekonyolan yang telah berlalu, kawula muda dalam kisahnya. Kenangan yang sangat mahal dan kami membuatnya murah dengan perselisihan.

“Semudah itu kita membuang kebaikan. Semoga ini bukan yang terakhir lagi kawan. Kita harus berhenti dari kebodohan ini, macam kanak-kanaklah kita ini terlihat. Selain itu, membuka peluang untuk orang lain mencela kita. Bagaimana kita menjawabnya, bagaimana kita berbangga, bagaimana merasai itu kalau melihat kau saja aku sudah muntah.” Kali ini aku yang tertawa terbahak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun