Mohon tunggu...
Boarneges
Boarneges Mohon Tunggu... Profesional -

"Tidak-kah kita merasa kehilangan orang-orang yang selama ini kita andalkan? mari kita melawan lupa,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pernyataan Sikap Para "Bung"

1 Februari 2017   06:34 Diperbarui: 1 Februari 2017   07:22 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hiruk pikuk negeri ini semakin menjadi-jadi, berbagai pemberitaan menjadi hidangan setiap detik, menit dan jam yang akan membuat tubuh cepat tua. Bayangkan saja, korupsi, Narkoba, Ekonomi dan politik menjadi santapan hangat yang dipelopori oleh para ‘elit’ (katanya) dan ditelan tanpa kunyah oleh segala kalangan dari atas sampai bawah dengan Handphone ‘kawe-kawe-an’ sampai yang original di media sosial. Ditambah lagi dengan kasus penistaan agama, penghinaan lambang negara, Fitsa Hats, Donal Trump, Rumah apung, lebaran kuda, sebutan ‘babu’ untuk pekerja asing, dan sedang ramai hastag Calon Gubernur dengan status ‘Jomblo’.

Mirisnya, mulai dari awal sampai akhir, Sabang sampai Merauke, Jepang sedng menjalankan kebijakan Farm Size Expansion dengan memberikan kepemilikan tanah 15-20 ha kepada setiap keluarga petani, dibarengi dengan teknologi pertanian modren, bajak-nya saja pake enam, jadi kalau membajak 1-2 jam langsung beres. Korea sedang membangun Laboratorium Riset Perikanan terbesar di dunia, Amerika dengan teknologi peternakan terbaru. 

“Saudara-saudara, kita semua tahu bahwa tidak ada ras yang lebih baik daripada yang lain, tidak ada agama yang lebih baik dari yang lain. Setiap benua dan setiap ras sebagian besar telah memberikan kontribusi terhadap perkembangan umat manusia, jadi mari kita sebagai aktor negara, media dan masyarakat sipil memainkan peran yang berbeda dan kuat dalam mempromosikan demokrasi, pluralisme dan toleransi beragama,"ini disampaikan oleh Riad Malki (Dubes Palestina) yang benderanya dibawa-bawa saat demonstrasi pada Bali Democracy Forum 2016 yang lalu, saat kita sedang “asik-asiknya” ‘bertikai’ satu sama lain, balas-balasan melapor.

Lantas, kapan semua ini berakhir? Pertanyaan yang sama saya baca pada sebuah akun Facebook teman saya, beliau seorang aktivis (katanya) yang tergabung dalam salah satu organisasi mahasiswa beken di Indonesia. Pertanyaanya ini membuat saya harus mengulik-ngulik data BPS untuk mencari jumlah Mahasiswa seluruh Indonesia, jumlah pemuda seluruh Indonesia, jumlah organisasi mahasiswa dan pemuda Indonesia. Susah sekali mencarinya dan saya mendapatkan sepotong-ssepotong, dan sayapun membuat kisarannya. Ada sekitar hampir 6 juta mahasiswa, sekitar 370 PTN, sekitar 4.043 PTS dan sekitar ratusan organisasi pemuda (OKP). Mengapa saya mencari-cari data ini, saya hanya sedang ingin memastikan dengan diri saya, dengan jumlah intelektual muda yang ‘berjuta-juta’ itu, lantas mengapa hal-hal tersebut di paragraf pertama terkesan menjadi sesuatu yang sulit diselesaikan sehingga muncul pertanyaan, Kapan semua ini berakhir? Tak bisakah kita bergerak bersama untuk perubahan memberikan solusi pasti dan ikut menyuarakan keadilan dan kebenaran yang sesungguhnya?

Saya sedang duduk di atas kasur tempat tidurku, ditemani segelas kopi susu, keripik pisang, gadget sembari mengetik ‘Pernyataan Sikap’ dari organisasi tempat saya bergabung. Judulnya “Indonesia Satu”. Isinya mengandung ketegasan-ketegasan, lalu saya mempostingnya di akun media sosial sembari menggoyang-goyangkan kaki sambil mengikuti lagu ‘Imagine of The People-nya’ Jhon Lenon. Saya tag beberapa teman supaya (mengharap) dapat di Like and Share,saya pun meneguk kopi susu dan beberapa lembar keripik. Komentar-komentar bermunculan, diawali dengan panggilan “bung”,tentunya ditujukan kepada saya sebagai aktifis (katanya).

Saya berdebat dengan beberapa pemilik akun berkaitan dengan beberapa pemberitaan yang tak jelas sumbernya (hoaks) tapi saya juga turut menyebarkannya. Saya memposting kalimat-kalimat bijak dan bercuap-cuap disana, saya rajin memposting pernyataan sikap, saya rajin men-share berita yang saya suka, saya memaki-maki di kolom ‘Apa yang anda pikirkan?’ saya men-tag akun lain sebanyak-banyaknya, setelah kopi susuku habis dan keripiknya ludes, aku tidur dengan nyenyak. Saya adalah bung, saya adalah aktifis di antara berjuta-juta intelek muda. Lantas, kapan semua ini berakhir? Dimana generasi harapan yang berjuta-juta itu? mungkin mereka sedang melakukan hal yang sama sepertiku, tapi mungkin mereka tidak suka kopi susu atau keripik, bisa saja mereka onlinesambil menikmati Equil dan Fitsa Hatzs.Lantas, kapan semua ini berakhir?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun