Masih tersisa manis
kopi kemarin yang kuseruput
bikinan gadis pesisir nan ayu
gelasnya masih berasa hangat
kugenggam eratnya dengan peluh
Penjala barus saja tiba
berwajah hampa di wajahnya
tak ada ikan terjerat
kehidupan untuk sekepul asap
di dapur kayunya yang sendu pun padam
"Laut sudah hancur kawan !" katanya
tak ada sapa bangga dengan ikatan berekor-ekor ikan
seakan itu hanya kutipan sejarah
kisah malam ayahnya yang sudah tua
sebelum ia tidur lelap waktu dulu
Ia terduduk melamun
di perbatasan kapal pencuri di tenggelamkan
di teluk kepulauan tangan-tangan serakah mejarah
melemparkan dentuman-dentuman penghancur
tak ada penjaga
tak ada aparat berseragam itu
"mereka malah membekingnya", ujarnya lagi
Gelisah berujung malang
pertanyakan nasib pada atap rumbia bernapas berat
malam hening diterangi lampu teplok kecil
laut tak lagi janjikan kehidupan
sirna oleh kehancuran
perahu dayung kecil bersaing dengan pukat-pukat bengis
tersingkir di laut belakang rumah kita sendiri
"Harus bagaimana lagi?"
ia bertanya pada hatinya
sejenak melirik pada gadis kecilnya
besok hendak sekolah
belajar pada seorang guru yang hanya seorang
dalam bangunan beratap seng karatan
Malam mulai melarut
ia bangun dengan berat langkah
menghampiri sekumpulan senasibnya
nelayan malangÂ
"Kita tidak oleh menyerah!"
seluruh mata memandanginya
semangat  patah tersimpulkan
membara membakar
ia membalasa tatapan hangat itu
menggulung sarungnya berhiaskan tambalan
Laut adalah kehidupan
dan kalau kau menghancukan kehidupan
aku akan melewanmu !
karena aku hidup karena kehidupan
berdaulat atas laut kita
Jangan pertanyakan lagi
jangan mengadu lagi
mereka tak melirik
kita bikin saja hukumnya :
bakar !
atau kita terbakar !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H