“Mau, Ma. Siti mau sama Nenek Sumi,” katanya semangat.
Kuhirup dalam udara panas di sekitarku, disejukan oleh hembusan angin gunung. Sejuk sekali. Bebatuan cadas keras, tumpukan tanah liat, kubikan pecahan cadas, palu besar dan dedaunan pohon kelapa yang ditepasi angin, menari kian kemari, menyaksi betapa terjajahnya kemanusiaan.
“Keliahatannya kita butuh banyak orang besok pagi,” ujarku tegas.
“Untuk apa, Ma?” Tanya Siti dengan polosnya.
“Warga kampung harus tahu ini, kita harus bertindak,” ujarku keras. Siti terdiam, dia tak mengerti.
“Besok pagi, aku akan melempari gedung putih itu dengan bebatuan ini bersama warga lainnya, sampai jendelanya pecah, pintunya terkoyak, atau atap-atapnya dilinggis saja. Bakar semua obat-obatnya, semuanya dibakar! Persetan dengan semua hukum dan kebijakan. Lalu usir semua binatang-binatang berseragam putih itu, sampai mereka lari terbirit-birit. Biarlah kita mati saja, sebagai manusia. Daripada harus bergeletak seperti binatang tanpa pertolongan di pangkuan anak-anak kita!”
“Mama mau apa?”
“Setelah itu, kita akan menghardik para pembalak di perusahan penjajah itu. Memblokade jalan-jalan yang dilewati truk-truk tua mereka, melempari mereka dengan batu-batu ini. Membakar rumah-rumah mereka, sebelum mereka menggusur gubuk-gubuk kita, merampas tanah kita, mengubikan kayu di tanah kita seakan bersaing hidup dengan kubikan bebatuan yang kita punya. Bakar!”
Siti terdiam memandangku. Aku tersenyum ke arahnya, sebuah senyum penyerahan. Karena penjajahan harus di lawan dengan perlawan. Sudah terlalu lama kita berdiam, dan kenyang dengan ke-moelok-kan.
"Mama kenapa?"
“Jangan salahkan kami, tuan!”