Mohon tunggu...
Boarneges
Boarneges Mohon Tunggu... Profesional -

"Tidak-kah kita merasa kehilangan orang-orang yang selama ini kita andalkan? mari kita melawan lupa,

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Gara-gara Lulung

15 Maret 2015   19:58 Diperbarui: 10 Juli 2015   16:16 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bapak Indu, masuk koran..!

“Bapak Indu, masuk koran...!”

Sorak-sorai beberapa bocah bernyanyi, saat melewati rumah kecil di pinggiran Jakarta. Indu, bocah kecil berdarah Sumatera, kelahiran Ibukota itu hanya terduduk diam menyaksikan dari tepi jendela. Tiada balasnya menyahut, dibiarkan saja mereka meneriaki ke arah rumahnya, sudah seminggu yang lalu, setiap kali kumpulan sebayanya berlari-lari melewati rumah kecil mereka yang tak lama lagi akan digusur, selalu saja meneriaki nama ayahnya, meski baginya teriakan riuh itu lebih sejuk daripada ocehan Satpol PP dengan speaker toa yang sudah menyurati mereka beberapa hari yang lalu. Tapi rasanya sedikit mengganggunya ketika bapaknya selalu disoraki kawanannya itu.

Semua itu bermula sejak nama ayahnya menjadi headline di beberapa koran, menjadi trending topic di jejaring media sosial, menjadi top news di beberapa televisi, hanya di berita entertaiment-lah sepi nama ayahnya, mungkin karena ayahnya bukan artis atau karena memang disana lebih suka gosip yang kadang terkesan murahan.

Semua itu bermula sejak nama ayahnya menjadi headline di beberapa koran, menjadi trending topic di jejaring media sosial, menjadi top news di beberapa televisi, hanya di berita entertaiment-lah sepi nama ayahnya, mungkin karena ayahnya bukan artis atau karena memang disana lebih suka gosip yang kadang terkesan murahan.

“Bapakmu masuk koran ya, Ndu?” tanya Ibunya yang buta aksara suatu ketika, sembari mengemasi dagangan gorengannya untuk dijajakan anak lelaki satu-satunya itu di sekolah.

“Lha, bapak salah apa, sampai masuk koran ?”

“Itulah, Ndu. Katanya banyak berita tentang bapakmu itu.”

“Aduh, bapak kok cari masalah ya?”

“Katanya bapakmu dilaporkan ke KPK!”

“Hah! bagaimana bisa?”

Terdiamlah Indu sejenak, ditepoknyalah kepala kecilnya itu pelan, lalu mengacak-ngacak rambutnya. Galau merasuki hatinya, sudah sore begini ayahnya belum pulang dan sudah seminggu ini bapaknya jadi buah bibir orang. Baginya ayahnya adalah kebanggaan, bertanggung jawab untuk setiap kebutuhannya, bahkan tadi subuh ayahnya bersusah payah menjahiti sepatunya yang sudah mirip mulut buaya supaya layak dipakainya ke sekolah, sepasang sepatu yang didapati ayahnya di sebuah tong sampah bulan lalu sewaktu memulung, menjahitnya pun memakai benang bekas tali ikatan karung beras. Ah, seandainya kartu sakti yang di ceritakan guru-gurunya itu bisa di dapat bapaknya, tambah saktilah sedikit keadaanya.

“Bagaimana ini sekarang, ibu jadi sedih, Ndu?”

“Ibu jangan besedih,”

“Lalu?”

“Kita tunggu saja ayah pulang.”

***

Di tempat lain, di sebuah gang yang mengantarai dua gedung tinggi, duduklah seorang bapak paruh baya, berambut agak gondrong tak terawat, berpakaian lusuh dengan celana pendek penuh tambalan dan sepatu kain yang juga penuh tambal. Terduduk bersandar pada dinding gedung di samping gerobaknya yang berisi barang bekas hasil pulungan, tampak lelah di wajahnya yang kurus, sesekali dia menyeka keringat di dahinya, tatapanya memandang kosong dinding gedung lain di depannya.

“Belum cukupkah kerasnya hidupku ini, ya Allah. Kenapa aku harus menanggung semua cobaan ini? Aku bukan koruptor, bukan mafia, bukan pengamat bayaran, juga bukan politikus yang biasa aku baca di koran-koran bekas yang kudapat. Tetapi kenapa semua ini harus terjadi padaku, ya Allah,” ujarnya dalam hati, lalu menjambak rambutnya pelan dan menangis sesengukan.

Terbayang olehnya beberapa hari yang lalu, ketika seorang staf kantoran menanyakan identitasnya, sewaktu mengurus surat keterangan keluarga miskin di kantor kelurahan, tersenyum sinis memandanginya ketika dia menyebutkan namanya. Lalu tetangga-tetangganya yang mendadak tampak menertawainya setiap kali melewati mereka, menyebut-nyebut KPK dan Polisi, tak seperti biasanya. Belum lagi pemberitaan di televisi yang terus membicarakannya, dan koran-koran bekas yang dikumpulinya, dibacanya dengan mengejanya pelan-pelan, maklum cuma lulus SD di kampung halamannya dulu, satu-satunya sekolah yang hanya memiliki dua orang guru tua pikun yang masih bertahan mengajar, di koran-koran itu juga menuliskan namanya. Dan anak-anak dekat rumahnya selalu meneriakinya setiap kali melewati rumahnya.

Di tengah penatnya itu, tergianglah wajah isterinya, perempuan yang sangat dicintainya, putri bungsu penghulu kampung yang dibawanya kawin lari, karena mendadak hendak dijodohkan dengan seorang haji kaya yang sudah beristri tiga.

Ah, terlalu lama kekasih hatinya itu berhidup susah denganya, tak mampu dia membahagiakannya, malahan bulan lalu dirinya sempat terpikat mata dengan Ati, janda kembang yang sudah setahun ditinggal mati suaminya, tapi itupun tak jadi, keburu ketahuan, dan kini dirinya memperhadapkan keluarganya lagi pada kasus besar yang tak diinginkannya. Tak terbayang betapa terluka hati isterinya itu menanggung ini semua. Betapa hinanya dia sebagai lelaki. Lalu teringatnya pula pada Indu, anak lelakinya yang bercita-cita ingin menjadi anggota DPR, bagaimana itu bisa berlaku, tak punya harta mereka untuk membagi-bagi sembako dan amplop serta kartu nama bertempel foto yang menghampiri rumahnya setiap Pemilu. Terasa berat di hatinya membayangkan keluarganya menanggung ini semua.

“Ya Allah, masihkah tersisa sedikit belas kasih-Mu? Tunjukanlah keadilan-Mu di negeri kami ini, aku tidak bersalah, aku masih ingin bersama keluargaku,” ujarnya mendoa di dalam hati, di tatapnya langit yang mulai gelap, lalu berdiri mendorong gerobaknya dengan lunglai menyusuri jalan pulang.

***

Indu menatapi ujung jalan yang mulai gelap dari balik daun jendela rumah kecil mereka, hatinya berlega melihat sosok ayahnya dari kejauhan mendorong gerobak, segera dia memberitahu ibunya, lalu keduanya menunggu dengan bahagia di depan pintu. Indu berlari menghampiri ayahnya dan memeluknya erat-erat, lalu tersenyum.

“Kenapa ayah baru pulang?”

“Ah, sepi hari ini , Nak, keduluan sama yang lain.”

Segera Ibunya Indu menyambut suaminya, dipeluknya suaminya itu erat tanpa peduli bau keringat yang menyengat. Kalau sudah begini makin berbunga-bungalah cinta dihati keduanya.

“Pak, tadi di sekolah guruku bertanya, nama ayah kamu siapa?”

“Lalu kamu jawab apa?”

“Saya anaknya, Lulung!”

“Lalu, gurumu bilang apa?”

“Guruku itu tersenyum saja, lalu berteriak : Angket!”

Ayahnya Indu tersenyum bingung, ibunya juga begitu, lalu bertanya kepada Indu,

“siapa nama guru kamu yang menanyakan itu, Ndu?”

“namanya juga Lulung!”

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun